Mengapa Anak Belajar AI Perlu Rasa Main? Panduan Orang Tua

Mengapa Anak Belajar AI Perlu Rasa Main? Panduan Orang TuaAnak bermain smartphone dengan senyum joyful

Puneet Chandok membandingkan belajar AI dengan anak menonton olahraga tanpa ikut bergerak—mana mungkin jadi bugar? Ia menegaskan AI fluency perlu praktik langsung seperti bermain. Pesan ini relevan untuk orang tua: pengalaman langsung membentuk kemampuan anak. Dengan rasa eksplorasi, mereka akan menguasainya. Seru banget kan?

Bagaimana Analogi ‘Gym’ Mengajarkan Belajar AI?

Anak pramuka berlatih outdoors menunjukkan keterampilan

Puneet Chandok menegaskan bahwa AI fluency adalah hal yang “super penting”. Menurutnya, seperti fitness di gym, anak muda (dan sebenarnya siapa saja) tidak akan bisa menguasai keterampilan ini dengan hanya menonton. Harus ada praktik nyata, interaksi langsung dengan alat, dan keberanian untuk mencoba. Nah, setelah tahu AI itu seperti gym untuk otak, mari kita lihat bagaimana ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari anak!

Kita bisa membayangkan ini dalam kehidupan sehari-hari anak-anak. Mereka tidak belajar naik sepeda dengan membaca buku petunjuk. Mereka belajar dengan terjatuh, bangkit lagi, dan akhirnya menemukan keseimbangan. Sama persis dengan cara kita mendekati teknologi baru—khususnya AI.

Penelitian pun mendukung gagasan belajar AI dengan bermain ini. Studi dari Harvard Business Publishing menunjukkan bahwa orang yang sering berinteraksi dengan AI cenderung memilih gaya belajar mandiri, berkelanjutan, dan penuh prakarsa dibandingkan cara belajar tradisional (sumber). Artinya, pengalaman langsung bukan hanya menghasilkan keterampilan, tapi juga membentuk pola pikir baru yang lebih luwes dan tangguh.

Mengapa Bermain Penting dalam Belajar Anak?

Dua anak bermain puzzle di lantai dengan konsentrasi

Sebagai orang tua, kita tahu anak-anak paling cepat menyerap sesuatu ketika mereka sedang bermain. Main pasir, main peran, atau bahkan main puzzle—semua itu adalah bentuk latihan nyata. Pesan Chandok agar anak muda “play around with AI tools” terdengar seperti undangan untuk menjadikan teknologi sebagai arena eksplorasi, bukan sekadar hafalan.

Bayangkan jika suatu hari anak kita mencoba membuat gambar imajinatif dengan bantuan AI, atau menanyakan pertanyaan lucu lalu melihat bagaimana mesin menjawab. Dari percobaan kecil itu, mereka belajar lebih banyak daripada dari seribu teori. Ini mirip dengan saat kita membiarkan mereka mencampur warna cat di kertas—kadang hasilnya berantakan, tapi dari situlah kreativitas tumbuh. Ayo kita coba!

Dan siapa tahu, kebiasaan sederhana ini bisa melatih keterampilan AI anak untuk menghadapi pekerjaan masa depan yang bahkan belum tercipta hari ini. Chandok menyebut peran baru seperti agent managers atau prompt engineers—pekerjaan yang terdengar asing sekarang, tapi bisa jadi kenyataan sehari-hari dalam beberapa tahun. Bahkan, kombinasi eksperimen AI ini bisa seperti paduan kimchi dan maple syrup—budaya timur dan barat yang saling melengkapi untuk menciptakan sesuatu yang unik dan kaya!

AI Fluency untuk Anak SD: Bagaimana Mulainya?

Guru membantu anak-anak menggunakan tablet di ruang kelas

Anak usia sekolah dasar masih di tahap awal memahami dunia. Mereka penuh rasa ingin tahu, sering bertanya, dan cepat bosan jika hanya didikte. Di sinilah orang tua bisa memainkan peran penting.

Alih-alih membatasi teknologi hanya pada layar pasif, kita bisa menggunakan momen ini untuk menjadikan AI sebagai teman belajar. Misalnya, ketika anak penasaran tentang dinosaurus, kita bisa menunjukkan bagaimana sebuah alat AI membantu menyusun cerita tentang kehidupan dinosaurus dengan gaya dongeng. Atau ketika mereka belajar matematika, AI bisa membuat permainan hitung-hitungan yang lucu.

Namun, jangan lupa seimbangkan! Sama seperti kita tidak ingin anak hanya duduk di depan layar, kita juga ingin mereka tetap berlari di taman, membuat kerajinan tangan, dan bermain musik. AI sebaiknya hadir sebagai bumbu tambahan yang membuat pengalaman belajar lebih kaya, bukan pengganti interaksi nyata.

Kenapa Ketangguhan Lebih Penting Daripada Keterampilan?

Anak kecil tersenyum percaya diri setelah mencoba sesuatu baru

Chandok juga menekankan pentingnya ketangguhan, adaptabilitas, dan growth mindset. Ini mengingatkan kita bahwa masa depan bukan hanya soal apa yang anak tahu, tapi bagaimana mereka menghadapi perubahan.

AI akan selalu berkembang, sama seperti dunia kerja. Tapi jika anak-anak terbiasa mencoba, gagal, lalu mencoba lagi, mereka akan lebih siap menghadapi ketidakpastian.

Sebuah laporan dari Educational Technology Today menyoroti bahwa penggunaan AI di dunia kerja bisa mengurangi interaksi manusia dalam beberapa bidang, sehingga keterampilan berpikir kritis bisa berkurang. Itu berarti kita sebagai orang tua perlu memastikan bahwa anak-anak kita tetap berlatih berpikir kritis dan berkomunikasi, tidak hanya mengandalkan jawaban instan dari mesin.

5 Tips Praktis untuk Orang Tua

Orang tua dan anak bermain game edukasi di tablet

1. Jadikan AI sebagai permainan: Ajak anak mencoba memberi pertanyaan lucu atau kreatif pada AI, lalu diskusikan jawabannya. Seru banget kan lihat responsnya?
2. Batasi tapi jangan larang: Terapkan waktu layar yang seimbang. Setelah bermain dengan AI, dorong anak untuk beraktivitas fisik atau berkreasi di dunia nyata.
3. Fokus pada rasa ingin tahu: Dorong anak bertanya dan bereksperimen, bukan hanya menerima jawaban. Ayo kita coba!
4. Tanamkan nilai etika: Bicarakan tentang tanggung jawab menggunakan teknologi dengan baik, termasuk tidak menyalahgunakan informasi.
5. Bermain bersama: Sesekali jadikan momen keluarga—misalnya membuat cerita bersama dengan bantuan AI lalu membacakannya sebagai dongeng malam.

Dengan cara ini, kita tidak hanya membekali anak dengan keterampilan, tapi juga menanamkan sikap mental yang tangguh dan penuh harapan. Siap untuk petualangan AI bersama anak?

Persiapan untuk Masa Depan yang Hangat

Anak menatap cahaya matahari dengan penuh harapan

Pesan Puneet Chandok tentang AI fluency bukan sekadar urusan teknis. Bagi kita yang mendampingi anak tumbuh, ini adalah panggilan untuk membuka ruang bermain baru. Dunia kerja mungkin sedang berubah cepat, tapi dunia anak selalu butuh rasa aman, cinta, dan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru.

Kalau kita bisa menjembatani keduanya—mengenalkan teknologi tanpa kehilangan keceriaan masa kecil—maka kita sedang menyiapkan mereka bukan hanya untuk sukses, tapi juga untuk hidup yang penuh makna.

Kita bisa mulai dari hal kecil—seperti dulu kita belajar naik sepeda. Siap mengayuh? Pernah ngerasain gembira waktu lihat anak bereksplorasi? Nah, itu modalnya! Setiap langkah kecil mereka hari ini adalah pijakan kokoh untuk masa depan yang lebih cerah.

Source: Learn to play around with AI tools, get fluent: Microsoft India President advises youth, Economic Times, 2025-08-24 09:08:26

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top