
Akhir-akhir ini, layar ponsel atau tablet mungkin terasa ‘berat’ dengan video-video berulang yang lucu atau membingungkan, atau lebih dikenal sebagai ‘AI Slop’. Saya saja sampai bertanya, ‘Apakah ini imajinasi hasil membuat, atau sekadar tumpukan kebetulan yang cerdas?’ Pernah bertanya: konten mana yang benar-benar memberi nilai untuk anak? Bukan hanya saya rasa, kan? Ada yang menyebutnya halus, ada yang menggerutu.
Nah, sebenarnya apa itu “AI Slop”? Cobalah kita jadikan ini celah untuk berpikir pelan-pelan: bagaimana teknologi ini masuk ke kegiatan sehari-hari anak kita?
Apa Itu ‘AI Slop’ Sesungguhnya?

Bayangkan channel YouTube yang memproduksi ratusan video singkat dalam waktu cepat. Ada cerita petualangan sederhana, tokoh kartun lari-lari, hingga alur cerita yang diulang-ulang dengan latar berbeda. Itulah yang banyak disebut ‘AI slop’—konten yang dibentuk atau dipercepat dengan AI generatif, seringkali kurang orisinal tapi bisa viral.
Salah satu contohnya adalah channel FUNTASTIC YT. Menurut beberapa sumber, mereka menghasilkan hampir 500 juta views cuma dalam beberapa bulan. Menurut sang pembuat channel, “video ini membiayai kuliah saya tahun keempat.”
Kita jadi teringat seruan cepat depan layar laptop, betul-betul kaget: bisa ya, AI bantu cari uang tapi mengorbankan nilai seni dan usaha kreatif? Apakah anak-anak kita perlu filter ini agar tak kehilangan keajaiban bermain atau menciptakan dunia sendiri?
Mengapa Anak-Anak Tertarik Menonton Konten Ini?

Anak itu seperti magnet dalam situasi apapun yang menyenangkan dan penuh warna. Video-video pendek dengan animasi sederhana atau narasi lucu — atau video AI Slop — itu “cepat” memikat perhatian, mirip cara kita menunjukkan peta untuk jelaskan perjalanan panjang lewat warna-warni destinasi.
Ingat, saat anak memandang layar dengan senyum lebar karena karakter dalam video punya kelakukan konyol? Kalau dulu itu hasil kerja bertuhan-tuhan detik, sekarang AI hanya perlu menit! Sayangnya, ada risiko anak ‘diajarkan’ bahwa kualitas ide tidak penting, selama bisa menarik perhatian dalam sekejap.
Seperti yang ditulis WIRED, permintaan YouTube anak seringkali sudah penuh dengan konten AI. Orangtua mungkin tidak nyadar, tapi dari kecil, mereka bisa diajak mengakrabkan domain teknologi ‘benar’ yang tidak sekadar instan. Mungkin kita bisa coba panduan reflektif: tanyakan, “Kalau kamu bikin video ini juga, suka gambar tangan atau AI dulu?”
Jika demikian, masa kecil bisa jadi tempat menyeimbangkan dua dunia: klik dan karya.
Bagaimana Konten AI Bisa Picu Kejenuhan atau Kesalahan Informasi?

Lalu, apa risikonya? Ada istilah “catatan pinggir” dalam dunia kreatif digital waktu ini: ‘AI slop’ bisa saja terlihat lucu, tapi dalam ratusan episode beruntun, risikonya adalah mengurangi toleransi terhadap kebosanan, … dan bahkan menyebarkan info tidak tepat.
Anggap saja jika anak melihat video sebuah selebriti menyelamatkan hewan dari banjir, apakah mereka akan pikir itulah keadaan sebenarnya? Atau mungkin kita justru membuka dialog tentang “hal yang terlihat seperti nyata tapi dibuat”–sebuah bentuk literasi yang penting di tahun-tahun depan.
Orangtua jadi ‘navigator’ kecil-kecilan. Seperti saat melintas kota biasa bersama anak, kadang ada tikungan curam–tapi dengan panduan tepat, semangat tetap menyala dan keingintahuan tumbuh. Bersama anak, kita bisa undang mereka bertanya, mengajukan tebakan, ikut menebak mana video buatan tangan dibanding ‘kiprah’ teknologi maju ini. Bagaimana kita bisa memfilter tanpa membatasi rasa ingin tahu?
Bagaimana Cari Kebahagiaan Tahan Lama di Era Video AI Slop?

Di tengah maraknya video AI Slop, Jangan lupa: kreativitas anak memang makin dicium dengan ide-ide besar dari layar, tapi justru di situlah ayah-ibu dibutuhkan. Inilah saat teknologi tidak perlu menjadi satu-satunya teman cerita, tapi alat yang malah membuka lembaran untuk dialog.
Misalkan, kita bisa coba ajari mereka soal AI sambil menggambar atau menyanyi bersama. Berikan kegembiraan merancang cerita sendiri (ekspresi nyata), lalu sedikit pamerkan perbedaan video buatan AI dengan karya tangan. Seru juga, lho! Si kecil bahkan mungkin akan tertantang mengubah cerita menjadi visual sesungguhnya, tanpa filter kacau.
Secara alami, kita justru mengajarkan kekuatan unik seorang manusia: imajinasi yang melewati algoritma. Betapa saat kita memejam mata, kita masih bisa membuat ‘film’ ala diri sendiri tanpa menunggu clickbait atau landscape ‘slop’ yang tidak ujung. Itulah guna menggabung teknologi ‘cerdas’ dengan interaksi ‘ceria’ yang tanpa layar—misalnya jalan-jalan cepat sore hari atau bermain puzzle bersama di meja makan.
Sebagai orangtua, kita bukan penjaga ‘tembok digital.’ Kita sumber cerita tentang dunia nyata, yang ketergantungan dari kita bergeser menjadi kisah kebersamaan.
Bagaimana Mempersiapkan Anak di Era AI dan Kreativitas Manusia?

Dalam menghadapi video AI Slop, Saya percaya, bukan AI yang perlu kita takuti–tapi cara kita mengajarkan anak untuk menyikapinya. Ada energi besar dalam teknologi ini, mirip keduannya pintu laju efisiensi. Tapi, bagaimana jika dibuka dengan makan malam hangat dan percakapan lagu sungguh, di mana suara mereka menemukan keberadaan paling asli?
Jika satu hari mereka memilih tonton video palsu, jangan khawatir. Jadikan itu momen untuk temukan jawab tentang bagaimana fitur AI itu sebenarnya bekerja–dan bagaimana kita sebagai keluarga bisa menciptakan cerita realis yang lebih seru. Karena sosok artistik itu bukan dibentuk jumlah video yang diklik, tapi kesabarannya dalam menemukan jawaban.
Bagaimana Melangkah Bersama Anak di Era Digital?

Saya masih teringat ketika anak dulu tonton video misteri, lalu langsung tanya artinya. Kita bisa jadikan riang itu sebagai kebiasaan: setiap kali mereka tonton video AI, selalu ada jejak tanya, diskusi kecil, atau ide untuk ikut cipta sesuatu yang kita buat sendiri di rumah.
Dengan begitu, AI tidak membuat, tapi justru membantu kita mengangkat dunia mereka menjadi segenap peluang untuk menggandakan cinta. Dari sudut pandang masing-masing keluarga, mudah-mudahan ini jadi bagian dari rumah kita yang hangat, digital ataupun nyata.
