
Perubahan di kampus ini tiba-tiba mengingatkan pada percakapan pagi tadi bersama anak kecil yang masih berjuang memasang sandal sendiri. Baru-baru ini, negara tetangga Malaysia melalui MMU membentuk Fakultas Kecerdasan Buatan untuk menghadapi digitalisasi. Ini mengingatkan kita: bagaimana orang tua Indonesia bisa menyiapkan anak menghadapi perubahan serupa? Sang Perdana Menteri menyebut fakultas itu sebagai kunci tantangan digital—tapi yang berputar di kepala justru: bagaimana mengajak anak-anak kecil menghadapi dunia yang berubah secepat layang-layang lepas? Tak ada kata ‘cepat’ yang lebih menantang daripada percepatan teknologi sementara tangan kecil kita masih bermain dengan mainan kayu di lantai. Di balik berita besar itu terselip pertanyaan yang lebih personal: siapakah kita untuk menuntun langkah mereka melewati gelombang ini tanpa kehilangan jiwa bermainnya?
Ketika Kampus Berlari, Keluarga Menari Berirama Sendiri

Pernahkah melihat anak berlari mengejar layang-layang? Itu mirip dengan semangat Fakultas Baru Kecerdasan Buatan MMU yang disebutkan Perdana Menteri. Di beberapa universitas di Jawa pun, langkah serupa sedang diambil dengan mengintegrasi AI dalam kurikulum. Pertanyaannya, bagaimana kita di rumah menyambutnya?
Di rumah, iramanya lebih pelan. Anak bungsu saya baru memahami angka sambil berhitung koin jajan, sementara kampus sudah menyusun kurikulum untuk mesin belajar. Riset dari Springer mengingatkan: bahkan di universitas, dosen kerap ketinggalan laju teknologi dibanding mahasiswa. Di meja makan kita, mungkin kita pernah merasa seperti dosen itu—bingung saat si kecil dengan mudah memanfaatkan aplikasi yang kita sendiri belum paham betul.
Bukannya kita kalah, tetapi kita punya keuntungan yang tak dimiliki kampus: waktu untuk membentuk fondasi yang hangat. Ketika mereka berlari mengejar inovasi, kita di rumah bisa menanam nilai bahwa teknologi hanyalah jembatan, bukan tujuan. Di era digital ini, tugas kita sebagai orang tua justru jadi peluang emas untuk menanamkan ketangguhan.
Digitalisasi Ganda: Antara Kampus dan Meja Makan

Ada istilah menarik dari penelitian Universitas Oslo tentang ‘digitalisasi ganda’—saat sistem teknologi dan cara berpikir kita harus berubah serempak. Di rumah, ini terasa seperti bermain dua permainan sekaligus. Di satu sisi, kita perlu paham cara kerja alat digital yang mungkin akan jadi cangkul hidup anak nanti. Di sisi lain, kita harus menjaga agar jiwa bermain mereka tetap utuh.
Bayangkan: ketika anak pulang sekolah, kita bisa mengajak diskusi ringan seperti, ‘Hari ini main apa di taman?’ lalu bandingkan dengan ‘Apa yang kamu pelajari dari video pembelajaran tadi?’. Bagi kebanyakan orang tua, ini seperti berjalan di atas jembatan tali—perlu keseimbangan agar tak terjatuh ke kubangan kekhawatiran berlebihan atau kecerobohan.
Namun justru di sini kita menemukan kekuatan keluarga. Seperti dalam riset MDPI yang menemukan bahwa pemahaman AI di kalangan siswa masih perlu dipupuk, di rumah kita bisa memulainya dengan hal sederhana: tanya Bagaimana menurutmu mesin bisa belajar seperti kita? sambil mencuci piring. Kan? Itu bukan sekadar pertanyaan teknis, tapi benih rasa ingin tahu yang tumbuh alami.
Menanam Ketangguhan di Atas Pasir Bergerak

Ada keajaiban ketika kita membiarkan anak bermain di pantai—ia belajar bahwa bentuknya bisa berubah, tapi ia tetap bisa membangun kastil baru. Era digital ini seperti pantai yang terus berubah, dan kunci ketangguhan bukanlah menguasai semua teknologi, melainkan membiasakan anak menghadapi ketidakpastian. Saat kampus sibuk menyusun kurikulum Kecerdasan Buatan, kita di rumah punya senjata rahasia: waktu makan malam.
Di situlah kita bisa menanam benih kritis dengan pertanyaan seperti, Kalau kita punya robot yang bisa bikin sarapan, sebaiknya dibiarkan atau tetap masak bersama? Atau ajak mereka membuat ‘peta perjalanan’ kardus ala liburan keluarga dulu—tanpa GPS—untuk mengingatkan bahwa navigasi hati sama penting dengan peta digital. Studi tentang perubahan peran guru dan siswa di ruang digital mengungkap bahwa pembelajaran terdalam lahir dari kolaborasi, bukan instruksi kaku. Di rumah, kita sudah melakukannya secara alami: saat bermain tebak bentuk awan atau memasak bubur gosong bersama, kita membiasakan anak berpikir bahwa kesalahan itu bagian dari petualangan. Itulah ketangguhan yang tak akan ketinggalan zaman.
Harapan di Balik Tantangan: Menjadi Kompas, Bukan GPS

Persis seperti sang Perdana Menteri percaya Fakultas Baru MMU akan menjawab tantangan digital negara, kita pun percaya pada kekuatan kecil di rumah. Bukan soal menguasai algoritma atau coding—tapi menanam rasa: teknologi ada untuk melayani manusia, bukan sebaliknya.
Saya suka bayangkan anak kelak menjadi bagian dari inovasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berhati hangat. Caranya? Mulai dari hal sepele: ajak mereka diskusi ‘Apa manfaat terbaik dari ponsel hari ini?’ setiap Minggu sore. Atau main tebak warna pelangi setelah hujan—tanpa rekam video—untuk mengingatkan bahwa ada keajaiban yang hanya terasa lewat mata langsung.
Di balik semua perubahan kampus yang besar yang menghampiri ini, jangan lupa: kita adalah kampus terkecil yang paling berpengaruh. Di sini, nilai kejujuran saat bermain ular tangga atau kesabatan menanam kacang di pot bunga, itu fondasi yang tak akan pernah usang. Orang yang paham tujuan, takkan takut tersesat di kabut. Kita tak perlu tahu semua rute masa depan, yang penting kita tetap menyalakan lentera kasih di setiap langkah kecil mereka. Itulah yang akan membimbing mereka melewati kabut digital—dengan kepala tegak dan tawa lepas.
