Bayangkan pagi ini: sambil mencium aroma kopi, kita membuka laptop dan browser langsung bersuara, “Hari ini ada kelas matematika, Bu. Saya sudah siapkan video perkalian yang bikin Naia ketawa kemarin.”Serius? Itu tak lagi skenario film, tapi potret dekat sejak Atlassian mengumumkan pembelian The Browser Company senilai 610 juta dolar—sekitar Rp 9,6 triliun—September lalu. Sebagai orang tua, aku langsung berdecak: beginilah wujud AI dalam pendidikan yang bakal hadir di rumah kita, entah kita siap atau belum.
Apa yang berubah?
The Browser Company dikenal dengan Arc, kini mereka garap Dia, browser yang punya asisten AI pintar. Setelah berlabuh di bawah Atlassian, tim ini bebas ekspansi sambil menelan suntikan dana besar. Tujuannya satu: buat browser yang tak cuma menampilkan tab, tapi ikut “berpikir”—merangkum email, menjawab pertanyaan anak soal fotosintesis, bahkan merancang itinerary liburan keluarga.
Mengapa ibu-ayah harus tahu?
Beberapa minggu lalu, Naia pulang sekolah bercerita guru baru mereka pakai “suara robot” jelaskan pelajaran. Teman-teman heboh, unsur ajaibnya membuat mereka betah di kelas. Nah, bila browser juga punya jiwa “guru” serupa, potensi belajar di rumah makin bewarna. Bayangkan ia menjabarkan konsep pecahan lego virtual, lalu otomatis mengusulkan resep kue yang butuh takarannya—langsung praktik tanpa ngelus dada. Kegembiraan itu berarti teknologi AI untuk keluarga memang bisa jadi katalis, asal kita menancapkan kompas moral di tengah roda cepat ini.
Tips praktis orang tua (tanpa pusing)
- Setel “mode anak” sejak awal. Di Dia, fitur semacam itu bakal ada, tapi tetap awasi ekstensi; privasi anak adalah prioritas.
- Janjiin “layar off, dunia nyala”. Gunakan timer. 25 menit eksplorasi topik sekolah, lalu 25 menit berkebun atau ngecat bambu. Rotasi ini menanamkan kebiasaan seimbang.
- Libatkan mereka memilih. Minta anak mengetik prompt sendiri: “Buatkan cerita petualangan kucing antariksa!” Hasil anehnya seru, sekaligus mengajarkan bahwa input kita menentukan output—pelajaran kritis di era AI.
- Jadikan alat, bukan pengganti. Kalau AI sudah jawab soal, aku minta Naia jelaskan kembali pakai caranya sendiri. Langkah sederhana ini melatih kepercayaan diri.
Dampak menggoda, gelisah, lalu berdamai
Sejujurnya, desas-desus “robot guna-guna” sering memicu mimpi buruk: apakah pekerjaan anak kanti nanti aman? Tapi ingat, dulu kita juga panik kalkulator bakal habisi profesi akuntan. Faktanya, manusia beradaptasi—ia beralih jadi analis, auditor strategis, bahkan influencer keuangan. Nah, semangat itulah yang ingin kuteruskan: hadirkan teknologi sebagai sahabat, bukan bayang-bayang.
Menyulam empati di kode dan kasih sayang
Pada akhirnya, AI dalam pendidikan tak ubahnya sepeda listrik: memampukan kita capai jarak lebih jauh, asa tetap mengayuh. Putar pedalnya adalah nilai: rasa hormat, tanggung jawab, keberanian bertanya. Jadi, saat browser Dia akhirnya hadir di layar Indonesia, jadilah penunggang yang tahu jalur, bukan pengendara pasrah arus.
Mungkin suatu hari nanti, di teras sambil menikmati pisang goreng, Naia akan berkata, “Ayah, kalau browser aku bisa bantu teman membaca, aku mau buat yang bisa mengajari mereka menanam pohon juga.” Dan aku akan tersenyum: anakku tidak takut teknologi, justru ia menjinakkannya demi kebaikan—warisan harapan yang tak ternilai.
Sumber: Atlassian acquires AI browser developer The Browser Company for $610M (SiliconANGLE)