
Pernahkah merasa dunia bergerak terlalu cepat? Shawn Shen, mantan ilmuwan AI Meta, mengalaminya langsung. Di usia 28 tahun, ia memilih keluar dari raksasa teknologi karena frustrasi dengan reorganisasi internal yang terus-menerus. ‘Manager dan tujuan bisa berubah setiap beberapa bulan. Bagi beberapa peneliti, ini sangat membuat frustrasi dan terasa seperti membuang-buang waktu,’ katanya. Ceritanya membuatku berpikir – dalam dunia yang terus berubah ini, bagaimana kita membesarkan anak-anak yang tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga tumbuh dengan resilience dan stabilitas emosional?
Bagaimana Dampak Perubahan Terus-Menerus pada Manusia?

Penelitian menunjukkan bahwa reorganisasi organisasi memiliki efek negatif konsisten pada keamanan kerja, komitmen organisasi, tekanan waktu, kesejahteraan psikologis, dan niat turnover karyawan. Bayangkan saja – jika orang dewasa yang sudah berpengalaman bisa merasa terguncang oleh perubahan konstan, apalagi anak-anak kita yang masih membangun fondasi emosional mereka? Sebagai orangtua, kita perlu memahami dampak ini lebih dalam.
Ini mengingatkanku pada waktu putriku yang berusia 7 tahun harus beradaptasi dengan perubahan rutin sekolah selama pandemi. Dari belajar tatap muka ke daring, lalu hybrid, dan kembali normal. Setiap perubahan membutuhkan penyesuaian, dan tugas kita pastikan transisi ini lancar.
Bagaimana Membangun Kemampuan Menghadapi Perubahan?

Kuncinya bukan melindungi anak dari perubahan, tetapi membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapinya. Seperti Shawn Shen yang akhirnya memilih jalan sendiri dengan startupnya Memories.ai, kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang mampu membuat pilihan berani ketika menghadapi ketidakpastian. Tips ini bisa dimulai dari rumah.
Caranya? Mulai dari hal kecil. Konsistensi dalam rutinitas keluarga memberikan rasa aman yang menjadi pegangan saat dunia luar berubah. Makan malam bersama, kebiasaan sebelum tidur, atau jalan-jalan sore ke taman seperti kebiasaan banyak orangtua di kota besar – semua ini momen stabil yang membantu anak merasa tenang.
Bagaimana Memperkenalkan Teknologi AI pada Anak?

Cerita Shawn Shen juga mengingatkan kita bahwa dunia AI terus berkembang dengan cepat. Sebagai orangtua, tantangannya adalah bagaimana memperkenalkan teknologi ini kepada anak-anak tanpa membuat mereka kewalahan. Bukan tentang mengajarkan coding sejak dini, tetapi menumbuhkan curiosity dan pemahaman tentang bagaimana teknologi bisa menjadi alat untuk kebaikan.
Coba katakan pada anak: Teknologi itu seperti teman pembantu yang selalu siap membantu, tetapi tetap perlu diajarkan hal yang benar. Pendekatan ini membantu anak melihat teknologi sebagai alat, bukan pengganti interaksi manusia.
Bagaimana Menciptakan Keseimbangan di Era Digital?

Dalam dunia yang penuh perubahan cepat seperti yang dialami Shawn Shen di Meta, keseimbangan menjadi kunci. Terlalu banyak screen time? Waktunya main di luar. Terlalu banyak structured activity? Mari beri ruang untuk bermain bebas dan imajinasi! Nah, yuk kita coba!
Penelitian dari MIT Sloan Review menunjukkan bahwa ketidakstabilan employment dan restrukturisasi mempengaruhi turnover karyawan. Hal serupa juga terjadi dalam pengasuhan anak: terlalu banyak perubahan dan tekanan bisa mempengaruhi kesejahteraan anak. Tugas kita menciptakan lingkungan yang cukup stabil untuk merasa aman, tetapi cukup fleksibel untuk beradaptasi.
Apa Warisan Terpenting untuk Anak di Tengah Perubahan?
Apa nilai inti yang ingin kita wariskan pada anak di tengah perubahan? Shawn Shen mungkin frustrasi dengan perubahan konstan di Meta, tetapi ia tidak menyerah. Ia menggunakan pengalamannya untuk membangun sesuatu yang baru – startup yang menawarkan compensation hingga $2 juta untuk menarik talenta terbaik. Pelajaran penting dari ceritanya adalah tentang transformasi positif.
Sebagai orangtua, kita pun punya kesempatan untuk membangun generasi yang tidak takut terhadap perubahan, tetapi melihatnya sebagai peluang. Generasi yang memahami bahwa di balik setiap reorganisasi atau transisi teknologi, ada nilai-nilai inti yang tetap sama: kindness, resilience, dan kemampuan beradaptasi sambil mempertahankan jati diri.
Jadi lain kali menghadapi perubahan – apakah reorganisasi di kerja atau perubahan kurikulum sekolah – mari ingat: yang terpenting bukan seberapa cepat dunia berubah, tetapi bagaimana kita membekali anak-anak menghadapinya dengan confidence.
Source: ‘Waste of time’: Founder-CEO of AI startup reveals why he quit Meta frustrated, Indian Express, 2025/09/07 07:41:47
Latest Posts
