
Pernah enggak sih, lihat anak asyik pakai aplikasi belajar AI terus hati bertanya-tanya, ‘Apa teknologi ini benar-benar mengerti kebutuhan si kecil?’ Teknologi emang keren, tapi bisik-bisik di hati itu tetap ada. Mirip seperti saat pertama kali melepas anak naik sepeda roda dua—deg-degan campur bangga. Titik di mana kita harus percaya sekaligus tetap waspada.
Mitos 1: Ahli Satu Bidang Berarti Jago Semua Hal
Anak yang jago matematika belum tentu lihai main piano kan? Nah, AI juga gitu—hebat di satu pojok, teteup bingung di pojok lain. Teknologi ini belajar mirip seperti anak kita mengeja kata pertama—perlahan tapi pasti.
Bayangkan seperti adik baru belajar naik sepeda: kadang goyah, kadang terjatuh. Makin sering kita melihatnya dengan sabar, makin terasa bahwa dia bukan pesaing melainkan ‘teman kecil’ yang masih perlu bimbingan.
Mitos 2: Yang Mudah Buat Manusia Pasti Gampang Buat Mesin
Balita saja bisa paham kalau dilempar bola akan jatuh ke lantai, tapi AI mungkin kewalahan mencerna konsep sederhana itu. Ada kalanya teknologi justru kaget dengan hal-hal yang kita anggap remeh—seperti membedakan boneka beruang dengan beruang sungguhan di kebun binatang.
Disinilah kita masuk: gandeng tangan anak, lari-larian ke taman, kejar kupu-kupu—itu yang bikin otak dan hatinya nyala, bukan coding. Kehangatan canda tawa di taman, aroma kue buatan rumah—itu yang tak bisa digantikan algoritma.
Mitos 3: Perkembangan Bertahap Pasti Menuju Kecerdasan Super
Menumpuk balok kayu lebih banyak belum pasti jadi istana megah. Perkembangan AI kadang seperti ulat yang jadi kepompong—prosesnya enggak linear dan hasilnya tak terduga. Sering kita lupa bahwa teknologi pun butuh trial and error mirip anak mencoba makanan baru.
Bagian paling penting justru saat kita perlu memilih: kapankah waktunya percayakan pada teknologi, kapankah wajib turun tangan langsung memeluk dan membimbing?
Mitos 4: Bisa Bicara Lancar Berarti Punya Emosi
Cerita pengantar tidur yang kita bacakan penuh getaran kasih sayang—AI mungkin bisa menirukan kata-katanya tapi takkan pernah menyimpan kehangatan kenangan keluarga di baliknya. Justru di ‘ruang kosong’ inilah peran kita tak tergantikan.
Coba ajak anak diskusi saat memakai aplikasi edukasi: ‘Menurutmu gimana cara kerjanya?’ Bukan jawaban sempurna yang dicari, tapi percikan rasa ingin tahu itulah benih pembelajaran sesungguhnya. Di sela-sela obrolan santai itulah keajaiban pengasuhan terjadi.
Jadi, masih deg-degan? Pasti. Tapi kalau sepedanya wobble, kita yang pegang bangku belakang—bukan aplikasi. Ready, berangkat!