Ketika Buku Kesayangan Si Kecil ‘Keriput’ oleh AI: Jaga Api Literasi dengan Gaya Santai

Ketika Buku Kesayangan Si Kecil ‘Keriput’ oleh AI: Jaga Api Literasi dengan Gaya SantaiBuku cerita halaman kusut karena sering dibaca
Nah, coba bayangin deh… buku Si Kancil kesayangan si kecil yang selalu dipegang sampai halamannya keriput—sekarang AI bisa habiskan cerita itu dalam 2 detik aja. Iya, mesin memang jago rangkum plot atau analisis karakter. Tapi pertanyaannya: ke mana larinya desau jantung berdebar waktu kita ikut deg-degan nungguin tokoh utama bertindak? Sambil ngopi pagi pas nganter anak ke sekolah jalan kaki, saya mikir: justru di situlah letak keajaiban yang gak boleh hilang. Apalagi pas lihat data buta huruf fungsional naik 9% dalam 5 tahun (Laporan Pusat Statistik Pendidikan 2025) [Sumber]—kita perlu tanya diri: apa anak-anak kita sedang dibiasakan jadi pemikir mandiri, atau cuma pengguna pasif teknologi?

Napa Rasa Bacaan Hilang Saat AI Ambil Alih?

Anak lesu setelah gunakan aplikasi ringkasan

Aduh, ingat minggu lalu pas ngajak anak main ‘tebak cerita’. Dia cerita soal Harry Potter dengan mata berbinar… eh, tiba-tiba langsung lesu pas tahu semua jawabannya ada di aplikasi dalam 3 detik. Padahal AI kaya Google NotebookLM emang praktis buat tugas sekolah—bisa rangkum bab berat atau bandingkan tema langsung. Tapi riset tunjukin anak yang baca langsung 8% lebih unggul nilainya<\/strong> ketimbang yang cuma andalin ringkasan [Sumber]. Angka itu sih penting, tapi yang lebih bikin miris itu… bayangin dong Laskar Pelangi atau Sang Nelayan dan Anak Perempuannya jadi cuma poin-poin doang. Di setiap sesi mendongeng, ada empati yang tumbuh pas kita ikut ngerasain perjuangan tokoh. Nah, itulah yang makin menguap: kemampuan ngerenung, menemukan makna sendiri, dan ambil hikmah dari keputusan tokohnya.

Kadang saya khawatir kita bikin generasi yang jago jawab pertanyaan kompleks, tapi kurang ‘rasa’. Ibarat gelas berisi air yang tumpah—mereka tau informasinya, tapi gak ngerasain gimana rasanya menyerap pelan-pelan. Alarm kecil buat kita semua nih.

Cara Asyik Bantu Anak Baca dengan Kritis

Orangtua dan anak berdiskusi cerita sambil tertawa

1. Baca Bersama, Bukan Cuma Hitung Halaman<\/strong>: Alih-alih tanya ‘sudah berapa halaman?’, coba keluarkan jurus ‘bagian mana yang bikin kamu sampai tahan napas?’ atau ‘kalo jadi si tokoh, bakal ambil jalan mana?’. Ini cara jitu alihin fokus dari target ke pengalaman seru bareng.

2. Gunakan Alat Digital sebagai Pemantik<\/strong>: Ada trik kreatif nih! Minta anak pakai ringkasan AI jadi teka-teki: tepat gak sih mesin tangkep momen paling dramatis di bab 5? Kesalahan di mana? Main ‘detektif cerita’ gini latih analisis sekaligus jaga rasa penasaran.

3. Jadikan Taman Kota Panggung Imajinasi<\/strong>: Di tengah kesibukan ibu kota yang panas, gak usah khawatir kalau gak ada hutan buat baca bersama. Manfaatin saja taman kota yang biasa kita kunjungi—coba deh main ‘kalo tokoh favorit si kecil lewat di sini, bakal ngapain ya?’. Mural di trotoar pun bisa jadi pintu ke dunia sastra yang seru!

AI: Musuh atau Teman Literasi Anak?

Anak menunjukkan gambar krayon hasil imajinasinya

Ramalan kalau AI akan matikan kebiasaan baca buku memang bikin cemas [Sumber]. Tapi, inget nggak cara TK-PAUD di Jepang yang percayain proses alami anak? Mereka biarin kids eksplor sendiri tanpa guru buru-buru kasih jawaban. Hasilnya? Anak-anak tumbuh jadi pemikir kritis yang tetap relevan meski dunia berubah drastis. Justru era AI ini bisa jadi kesempatan buat kita merevolusi cara ajak anak jatuh cinta pada buku.

Coba ritual sederhana: seminggu sekali, adain ‘malam buku fisik’—gadget dimatiin, lampu kamar diredupin, keluarga bergiliran bacain halaman favorit. Gak usah sempurna, kok! Kadang kita malah tertawa ngakak pas tokoh fiksi dikisahkan mirip tingkah tetangga sebelah.

Lihatlah cara anakku kemarin bikin versi Laskar Pelanginya sendiri pakai krayon—wajah Ikal salah warna, riak airnya acak-acakan. Tapi di situ ada semangat yang gak akan pernah bisa dicontek AI. Bukankah imajinasi anak lebih berharga daripada kemudahan instan?

Ritual Kecil yang Jaga Nyala Api Literasi

Keluarga baca buku bersama di sofa rumah

Di tengah rumah kita yang tak terlalu luas, ritual kecil bisa jadi penghangat. Baca sebelum tidur (pakai e-book boleh—yang penting kontaknya terjaga!), diskusiin berita pagi sambil sarapan bubur, atau main ‘buru literasi’ di perpustakaan digital bareng.

Pas si kecil nanya, ‘Kan AI lebih cepat, kenapa harus repot baca sendiri?’, jangan buru-buru marah. Alih-alih, ajak dia ingat cerita Kancil yang ajarkan sabar, atau si miskin di dongeng yang jadi kaya karena ilmu. Coba tanyain: ‘Kira-kira apa yang ngajarin kita bersabar dari cerita katak dalam sumur?’

Teknologi gak perlu dilarang total—tapi sadari bahwa literasi otentik itu tempat kita menemukan kemanusiaan. Di tengah badai digital, keluarga yang masih bacakan cerita dengan ekspresi konyol tetap jadi benteng terkuat. Jejak kemanusiaan dalam setiap halaman, selemah apa pun kertasnya, tak akan pernah tertandingi algoritma secanggih apa pun.

Source: AI is making reading books feel obsolete, and students have a lot to lose, Phys, 2025-08-13 17:07:46

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top