
Pernah dengar gelak tawa anak di balik pintu kamar, lalu sadar mereka sedang asyik bercanda dengan asisten virtual? Rasanya seperti ditampar pelan. Saat itu aku mengerti: mesin tak pernah bilang ‘Nanti dulu, Papa sibuk.’
Sebagai ayah yang paham betul aroma kopi tengah malam saat membantu PR sekolah, situasi ini bikin hati miris. Apakah kita sudah kalah cepat dari robot? Tapi di balik kegelisahan itu, tersimpan peluang emas untuk mendengarkan lebih dalam—cara baru di zaman yang berubah secepat swipe jari.
Kenapa Chatbot Jadi Teman Curhat Favorit?
Bayangkan suasana ini: pukul sembilan malam, tugas sekolah menumpuk, tapi mereka memilih bertanya ke AI ketimbang mengetuk pintu kamar kita. Alasan sebenarnya seringkali sederhana: mesin itu tak pernah memotong pembicaraan dengan ‘Ibu tahu jawabannya’ atau ‘Kerjakan saja sendiri’.
Bagi anak yang sedang bingung, jawaban gak sok tahu itu seperti pelukan hangat. Saat memahami ini, baru terasa ironinya—teknologi yang dingin justru memberi ruang lebih lega buat unek-unek mereka.
Lalu, bagaimana kalau kita belajar menjadi “chatbot berdarah panas” yang bisa peluk mereka tanpa putus nada?
Tiga Jurus Halus Membuka Gerbang Hati Mereka
Pertama, cubit waktu obrolan dadakan. Saat mereka asyik bersihkan meja makan, selipkan pertanyaan ringan: “Kalau boleh pilih, lebih enak ngobrol sama Papa atau robot?” Diam sejenak, dengar jawap.
Kedua, jadi rekan eksperimen teknologi. Ajak mereka menguji kehebatan ChatGPT bareng-bareng sambil tertawa: “Wah, jawabannya kocak juga ya!” Tawa bersama adalah kunci pintu hati.
Ketiga, akui dengan jujur: “Papa juga kadang bingung kok sama teknologi baru. Yuk cari tahu sama-sama!” Kita ngaku gak ngerti juga, eh mereka malah deket.
Ketika Tugas Sekolah Jadi Ajang Saling Mengajari
Melihat anak mengandalkan AI untuk PR memang bikin gusar. Tapi hukuman atau larangan sering kontraproduktif. Coba pendekatan baru: “Nak, kita cek bareng jawaban AI ini yuk. Kamu bisa ajari Papa cara menilainya?”
Dengan begitu, kita mengalihkan fokus dari ‘menyontek’ ke ‘kritik konten’. Anak yang biasanya cuma diem di pojok akan belajar berpikir evaluatif, sambil merasa kompetensi mereka dihargai. Perlahan, percakapan berpindah dari layar gadget ke meja makan—dan tiba-tiba AI in education jadi topik ngobrol, bukan rahasia gelap.
Ritual Pengganti yang Menyentuh Hati
Digital detox tak harus dramatis. Ciptakan “zaman emas” sederhana: 30 menit sebelum tidur tanpa gadget, gantinya bercerita tentang satu hal konyol yang dialami hari itu. Tawa ringan ini memperpanjang masa kecil mereka—dan memperpanjang umur kebahagiaan kita.
Atau buat proyek akhir pekan old-school: memasak resep dari YouTube tanpa bantuan asisten virtual. Tertawa karena kue bantat atau mie gosong itu justru membangun memori lebih berarti dari sekadar tugas sekolah sempurna.
Ketika kita berani duduk di samping—bukan di depan—mereka akan menoleh dan berkata, “Pah, ternyata ngobrol sama kamu lebih seru dari pada robot!”
Sumber: 12 Essential Lessons for Building AI Agents, KDnuggets, 2025-09-11