
“Mama, tadi aku ngobrol sama asisten virtual lebih seru…” — Saat Dunia Mereka Berbeda
Pernah melihat anak asyik berdiskusi dengan asisten virtual sampai lupa waktu? Atau tiba-tiba cemas karena mereka menyebut ‘temen baruku di Roblox’ yang ternyata chatbot? Kita sama-sama merasakannya. Teknologi itu jalannya kaya RER-UHm… cepet banget! Tapi sebagai orangtua, terkadang kita masih ingin memegang rem darurat. Bagaimana menemukan titik nyaman?
Kenapa AI kadang jadi ‘sahabat’ yang lebih menarik?
Bayangkan ketika anak pulang sekolah dengan sejuta cerita, tapi lebih memilih membagikannya ke asisten AI ketimbang ke kita. Bukan karena mereka tidak mencintai kita, tapi karena mesin itu tak pernah menyela, tak pernah bilang “Nanti dulu, Mama sibuk”. Disinilah letaknya — Alhasil AI cuma dengerin terus, nggak pernah nyuruh-nyuruh (Kadang aku juga sih males basa-basi!).
Tapi ada batasannya. Seperti tetangga baik yang kadang memberi permen sembarangan, chatbot bisa saja membagikan jawaban yang tak pantas untuk usia mereka. Kemaren, pas main Roblox, si kecil malah nanya ke bot tentang karakter game, eh dapat jawaban yang bikin aku langsung cek pengaturan keamanannya — ternyata belum dikunci dengan benar!
Peta Perlindungan: Mulai dari Instagram sampai Roblox
Ingat bagaimana kita mengajari anak menyeberang jalan? “Lihat kiri-kanan”. Di dunia digital, prinsipnya mirip:
Instagram: Aktifkan ‘pengawasan keluarga’. Fitur ini memungkinkan kita melihat berapa waktu yang dihabiskan anak di explore page, sekaligus membatasi konten AI yang muncul
Roblox: Cek ‘parental control’ > batasi chat AI ke preset replies saja. Biarkan kreativitas mereka berkembang tapi dalam koridor aman
Pencarian Umum: Aktifkan safe search + jelaskan pada anak bahwa “tidak semua jawaban dari mesin itu benar, seperti PR yang harus dikoreksi bersama”
Lonceng Alarm Akademik: Saat AI jadi ‘temen nyontek’
Mendapati tugas sekolah yang tiba-tiba terlalu sempurna? Atau gaya bahasa yang tak biasa? Forum hukum Amerika sempat cerita kalau 42% guru melaporkan kekhawatiran ini. Tapi melarang sepenuhnya bukan solusi. Coba strategi berbeda:
1. Jadikan AI sebagai ‘asisten diskusi’: “Coba tanya AI pendapatnya, lalu bandingkan dengan pendapatmu”
2. Buat kesepakatan: “Kita boleh pakai fitur translate AI, tapi semua jawaban harus direvisi dengan kata-katamu sendiri”
3. Permainan peran: “Ayo kita jadi detektor kebohongan AI bersama! Temukan 3 kesalahan dalam jawaban ini”
Sepulang sekolah 100 meter tadi, dia bilang… Kita bukan penjaga gerbang, tapi pendamping petualang. Teknologi adalah hutan, bukan reruntuhan — dan anak-anak butuh kompas, bukan kandang.
Membangun Jembatan, Bukan Tembok
Pernah melihat anak mengajari kakek-nenek menggunakan video call? Ada kesabaran tak terucap disana. Ambil posisi yang sama dalam memahami dunia digital mereka:
✓ Minggu AI: Setiap minggu eksplor 1 fitur AI bersama — Mulai dari filter foto lucu sampai penelitian ilmiah sederhana
✓ ‘Kesaksian digital’: Ceritakan pengalaman kita sebagai orangtua — “Mama juga dulu takut pakai mobile banking, tapi sekarang…”
✓ Kode rahasia keluarga: Buat sinyal khusus jika menemukan konten tak nyaman — Seperti istilah “aku mau minum susu cokelat” yang artinya “tolong matikan layar sekarang”