
Sebagai orang tua yang sering ngobrol di taman sambil lihat anak-anak bermain, kabar tentang inovasi ini langsung bikin saya ingat gimana ekspresi ceria si kecil saat tukar mainan dengan teman. Tahu kan, seperti obrolan santai di sore hari yang sempat diselingi cerita-cerita tak terduga dari mereka? Nah, fitur komunikasi dalam Sesame Chat ini terasa menyenangkan untuk diulas lebih dalam.
Bagaimana Aplikasi AI Ini Bantu Anak Berkomunikasi?

Coba bayangkan, Sesame Chat ini pakai lima AI yang saling berkolaborasi seperti tim pelatih renang bergiliran memandu anak di kolam. Sistem ini bisa membaca situasi dari percakapan — mulai dari dialog kencan sampai simulasi negosiasi. Amboi, kayak ada staf pelatih pribadi dalam genggaman tangan!
Karya Ma Jie dari EDTK ini memakai pelatihan ala mainan lego, di mana teknologi pembelajaran AI terus menyusun, merobohkan, dan mencoba lagi. Kebetulan putri kecil saya sedang senang mengoleksi informasi tentang hal-hal yang rumit, jadi ini mirip waktu dia membongkar pasang robot kardus sambil mengamati reaksi teman sebayanya saat berhasil menyelesaikan tantangan.
Tapi di sela rasa kagum, saya sempat termenung: apakah mesin bisa mengerti lembutnya bahasa tubuh saat teman sekelas putri saya menutup buku komik demi menunjukkan ketertarikan bermain bersama?
Interaksi Manusia vs Bimbingan AI: Mana Lebih Efektif untuk Anak?

Tim pengembang Sesame Chat bilang sistem mereka mampu mengatur respons secara dinamis. Contoh spesifiknya, saat anak merangkul bonekanya dan pembicaraan tentang rasa kasih, AI ini bisa menyesuaikan ucapannya. Teknologi keren memang, tapi lihat cara anak bermain sandra drama tanpa latihan — kejadian tak terduga yang mengajarkan ekspresi wajah asli dan intonasi suara alami.
Di sisi lain, permainan sederhana seperti “telepon-teleponan” dengan kaleng bekas dan benang nilon ternyata bisa mengasah hal yang kurang diekspresikan layar gadget. Bayangkan anak berbisik pelan kabar rahasia ke kaleng itu, tangan kecilnya bergetar semangat, lalu penasaran mendengar jawaban dari teman.
Ide Keluarga: Latihan Komunikasi Tanpa Gadget

Kadang usai hujan sore hari, kami membuat permainan di teras yang melatih ekspresi emosi: putri saya menyusun peran antara kimchi stew pagi tadi dengan sayuran tertinggal di mangkuk, lalu menirukan suara boneka yang marah karena tidak diajak jalan-jalan tadi pagi. Coba deh, saat anak berakting jagung memprotes penjual sayur yang lupa meletakkannya di keranjang belanja, spontanitas dan kepekaan sosial mereka muncul alami sambil mengenal rasa perihatin pada teman yang tertinggal.
Pernah juga kami bikin pasar pura-puranya dengan mata uang pecahan kupu-kupu kertas. Anak harus menawar sayuran berupa mainan kayu dengan imajinasi yang bekerja keras. Aktivitas ini ternyata mengajarkan putri saya tentang mendengar ulasan pembeli yang beragam, sesuatu yang software latihan AI masih kesulitan meniru secara otentik.
Perlukah Orang Tua Pakai Aplikasi AI untuk Komunikasi Anak?

Keterangan EDTK menyebutkan sistem ini dirancang untuk pendidikan inklusif, kayak melihat alunan K-pop yang sukses menyatukan anak-anak dari berbagai latar belakang malu-malu saat unjuk gigi di pertunjukan sekolah. Tapi tetap harus diawasi, terutama saat aplikasi ini menggantikan momen berharga di meja makan yang biasa diisi cerita kegagalan si adik saat latihan tari.
Untuk yang kurang percaya diri saat berbicara, AI ini memang bisa jadi pintu masuk aman. Sama seperti kami memasang pelampung saat anak mulai mencoba berenang sendiri di kedalaman 1 meter. Tapi alat ini bukan pengganti utama, betul? Sebab tak ada codingan yang menggantikan kehangatan saat kita memeluk anak setelah pulang dari rekreasi sekolah, waktu air mata kegundahan dan tawa kebersamaan bercampur ala kimchi stew hangat.
Sumber riset relevan: Multi-Agent System in Sesame Chat
Bagaimana Menciptakan Interaksi Seimbang di Era Teknologi?

Perbedaan utama antara teknologi dan taman kota di dekat sekolah kami terletak pada kehangatannya. Selain alat digital, Sesame Chat punya potensi jadi partner sementara saat anak kesulitan ekspresikan kekangenannya pada oma di Desa. Tapi saat mengajarinya berbagi makanan rekreasi dengan teman sekelas, tak ada pengganti panduan lewat contoh nyata.
Dari pengalaman mengedit lagu anak untuk ulang tahun, saya sadar teknologi seperti kamera polaroid: merekam momen namun tak menciptakan kenangan. Seorang anak perlu pencocokan karakteristik antara teori AI politeknik dan praktek bermain petak umpet di taman sambil menyusun permintaan maafnya pada teman. Sebagaimana campuran kaldu ikan Korea dengan jintan Nusantara dalam semur daging tadi malam, keseimbangan teknologi dan interaksi nyata butuh rasa tajam serta hati-hati.
Refleksi petang ini bikin saya tersenyum mengingat percakapan putri saya tentang beda cara bicara saat online dan offline. Menjelang iblis tidur sambil bermain rambutnya, saya teringat pesan oma: “Jangan biarkan notifikasi menggantikan detak jantung kita saat anak curhat sedih ditinggal teman.”
Jadi, gimana nih pendapat kita sebagai orang tua? Masih percaya komunikasi bisa diajarkan layar gadget dalam percakapan malam hari? Bagaimana dengan permainan tradisional jadul yang sampai sekarang masih bikin keluarga kami tertawa saat buka puasa? Sambil menunggu jawabanmu, tim kami sudah memesan tempat di kursi penonton pertunjukan drama siswa minggu depan — alat bantu terbaik untuk melihat langsung komunikasi spontan di usia 7 tahun.
