
Hari ini mendung di sekitar rumah, udara sejuk 23 derajat pas buat ngobrol santai kayak lagi duduk di depan rumah sambil minum kopi. Tadi pagi, antar Si Kecil (7 tahun, kelas 1 SD) ke sekolah—hanya jalan kaki 2 menit dari rumah—dia tiba-tiba nanya: ‘Ayah, katanya robot bisa jadi guru? Nanti aku gak perlu ke sekolah?’ Saya pun ngakak kocak! Belakangan, banyak banget berita soal universitas di luar negeri yang wajibkan kuliah AI sejak semester pertama. Rasanya kayak ada tangan tak kasat mata menepuk pundak: “Woi, orang tua! Siapin anakmu sekarang atau ketinggalan!” Tapi ayo kita berubah sentimen negatif jadi peluang! Seru kayak main congklak—tanpa les mahal, tanpa kehilangan tawa di rumah.
Mengapa Dunia Ribut Soal Pendidikan AI? Ini yang Perlu Orang Tua Jakarta Tahu
Penelitian terbaru juga bilang, anak yang bermain dengan chatbot AI justru makin lancar berbicara—apalagi kalau sedang belajar Inggris! Nggak malu² tanya ulang kayak pas les bahasa asing dulu. Dan ini bukan berarti daftar kelas robotik 5 juta/bulan! Saya ingat kemarin pas hujan, Si Kecil main ‘mesin pencari ajaib’ pakai Google Lens. Tanyanya: “AI-nya bilang ini daun mangga, Ayah. Tapi kok bentuknya beda sama yang di pohon sebelah?”
Di situlah letak keajaibannya: AI justru memicu rasa ingin tahu anak, bukan malah bikin mereka pasif.
Rasanya makin jelas: AI bisa menghilangkan ketimpangan edukasi jika dipakai cerdas. Anak di kota besar bisa pakai AI untuk bantu keponakan di daerah belajar internet—kan sama-sama bisa berkembang!
Bagaimana Cara Mengajak Anak Bermain AI Tanpa Ketagihan Layar?
Coba deh, ikuti trik 20-20-20 versi saya: “Setiap 20 menit main gadget, cari 20 benda di sekitar yang warnanya biru, lalu diskusiin 20 detik sama Ayah/Ibu!” Kemarin, pas main puzzle digital di aplikasi, begitu timer berbunyi—langsung lari sana-sini cari sendok biru, gelas biru sampai kaoskaki yang tertinggal di jemuran! Cobaan tuh jadi berkah. Sekarang giliran Anda—apa benda warna favorit yang akan dicari si kecil hari ini?
Jadikan AI sebagai jembatan ke dunia nyata, bukan penghalang. Pernah waktu macet di jalan, ajak Si Kecil tebak durasi sampai taman. Bandingkan tebakannya dengan Google Maps, lalu diskusi: “Kenapa AI bisa tahu? Apa sumber datanya?” Lihat sendiri: senyum saat ngoceh di lapangan bikin mata cerah!”
Bukan Cuma ‘Bisa’, Tapi ‘Mengerti’: Ajari Anak Jadi Pemimpin Digital yang Beretika
Yang paling seru emang pas kita ikut workshop ‘Kelas Robot dari Kardus’ di taman bacaan. Anak buat robot sederhana dari karton, terus belajar ngeklik drag-and-drop coding biar bisa jalan. Layaknya main layang-layang, kita unjuk kreativitas sambil belajar batasan teknologi—sambil tepak kepala, tepuk paha!
Pokoknya, menguasai teknologi tanpa kehilangan jiwa kemanusiaan—dan tetap punya waktu buat ketawa-ketiwi main layang-layang sore hari! Buka kepala ngajak anak nanya: “Kalau teman ambil hasil gambar kita tanpa izin, kamu suka nggak?” Awalnya malu-malu, sekarang Si Kecil selalu bubuhin ‘Ciptaan Keluarga’ di setiap eksperimen digital.
Dari langkah sederhana itu kita ingat, sama seperti petualangan pertama Si Kecil cari daun mangga, setiap momen bersama AI adalah kesempatan memperkuat ikatan dan rasa ingin tahu. Yuk, terus eksplor bareng si kecil dan bawa pulang lebih banyak tawa dan pelajaran berharga!
Sumber: With tech shifting quickly, should the UNC System require a course on AI?, NCSPIN, 2025-09-11