
Lihat mata mereka saat pertama kali berkata, “Hey Google, kenapa langit biru?” Bukan jawabannya yang membuat kita tertegun, tapi cara matanya berbinar—seolah ada dunia baru yang terbuka. Di balik layar itu, kita tahu ada gelombang besar bernama AI yang akan mengiringi langkah mereka. Tantangannya bukan melawan arus, tapi bagaimana menjadikannya sekoci yang kokoh.
Gak perlu teknik parenting sempurna. Yang kita butuhkan adalah kearifan membedakan: mana yang sementara, mana yang abadi. Teknologi datang pergi, tapi rasa ingin tahu dan kemampuan beradaptasi? Itu senjata sepanjang masa.
Dari ‘Gak Tahu’ Jadi ‘Ayo Cari Tahu!’: Menumbuhkan Rasa Penasaran di Antara Gemericik AI

Pernah dengar keluh kesah teman, “PJJ bikin anak malas belajar”? Sebenarnya masalahnya bukan di teknologi, tapi cara kita memakainya. Saat anak bertanya sesuatu dan kita jawab, “Coba tanya ke Google dulu, yuk!”, yang kita tanamkan adalah pola pikir eksplorasi—bukan ketergantungan.
Coba aktivitas sederhana ini: Minta AI bercerita tentang siklus air, lalu ajak anak membuat miniatur dari gelas bekas dan kapas. Di sini, teknologi jadi pemicu, bukan pengganti. Ingat kan dulu kita juga buka-buka Ensiklopedia Britannia? Bedanya, sekarang ensiklopedianya bisa diajak ngobrol!
(OK, kadang aku juga Googling cari cara masak mie ayam biar ga ambyar!)
Bukan Sekadar Pengguna: Membentuk Konsep ‘Manusia + Mesin’ Sejak Dini

Gimana reaksimu kalau anak membuat gambar pakai aplikasi AI lalu bilang, “Aku yang bikin, lho!”? Daripada mengoreksi, lebih baik kita ajak berefleksi: “Bagian mana yang dikerjakan komputer, bagian mana idemu sendiri?”
Seperti waktu ponakan saya bercerita AI bisa menulis puisi. Saya balik bertanya, “Menurutmu, mana yang lebih menyentuh—puisi mesin atau puisi yang kamu tulis tentang kakek?” Pertanyaan itu ternyata bikin dia diam sejenak—dan aku jadi ingat…
Nanti aja mikirnya AI ambil pekerjaan kalau kita menanamkan kemampuan kolaborasi sejak kecil. Membuat prakarya unik dengan bantuan desain digital, meracik resep sederhana pakai aplikasi masak—inilah cara menyelipkan nilai-nilai manusiawi di balik kecanggihan mesin.
Keterampilan Abadi di Tengah Pusaran Teknologi: Apa yang Tak Bisa Digantikan AI?
Tekanan nilai sekolah bikin anak stres? Cubalah ubah pertanyaan menjadi, “Menurutmu kenapa ini penting?” Di sini kita melatih penalaran moral—sesuatu yang tak bisa diajarkan mesin. Teknologi bisa menyajikan data, tapi nurani tetap domain manusia.
Contoh sederhana? Main tebak ekspresi wajah sebelum tidur. AI mungkin bisa mengenali emosi dasar, tapi membaca nuansa baperan teman sekelas? Itu keahlian anak kita saat mereka berdiskusi tentang konflik di taman bermain.
Teknik TRUST, RESPECT, INDEPENDENCE, COLLABORATION, KINDNESS—prinsip yang bersumber dari pemahaman manusiawi, bukan algoritma.
Di tengah keriuhan teknologi, nilai-nilai dasar seperti inilah yang akan jadi penjaga gawang generasi mendatang.
Tantangan Orangtua di Era AI: Antara Kecemasan dan Optimisme

Gak cuma kita yang merasa gamang soal masa depan. Bayangkan kalau salju tiba-tiba turun di Jakarta—itulah hebohnya AI bagi sebagian orangtua. Kuncinya? Tidak perlu bereaksi berlebihan pada tiap temuan baru.
Cara melatih diri: Saat muncul berita “AI bisa menggantikan 90% pekerjaan”, ganti rasa takut dengan pertanyaan berkembang: “Keterampilan apa yang perlu diasah anak agar selalu relevan di tiap zaman?” Jawabannya seringkali sederhana: komunikasi, empati, kreativitas solutif—semua bisa dimulai dari obrolan ringan di meja makan.
Stres nemenin anak pakai gawai sampai lupa diri? Istirahat 5 menit, tarik napas. Parenting era digital bukan tentang kesempurnaan, tapi konsistensi memberikan ruang untuk tumbuh—bagi anak maupun diri sendiri.
Sumber: Robinhood CEO says just like every company became a tech company, every company will become an AI company—but faster, Fortune, 2025-09-13
