
Pernah suatu sore anak kita menunjuk ke layar laptop dan bertanya, “Kenapa YouTube tahu aku suka video dinosaurus?” Pertanyaan itu menggantung di udara seperti aroma gorengan yang baru matang—lucu sekaligus membuat berpikir. Pertanyaan anak tentang teknologi sudah menjadi “kenapa langit biru?” masa kini, tuh mulai nempel di rumah kita tanpa kita sadari, kan?
Ketika kita menghadapi cerita sebelum tidur yang terinterupsi pertanyaan tentang asisten virtual, aku sadar alat pembelajaran terkuat justru ada di sekitar kita. Nah, dari situ aku kapok baca dongeng pakai HP, terus ngalih obrolan ke warteg dekat rumah buat nyari ide. Bukan di kursus pemrograman atau gadget mahal, tapi dalam cara kita mengubah obrolan di warung menjadi batu loncatan untuk memahami teknologi. Mari berbagi bagaimana keluarga kami belajar menari di antara layar dan kardus bekas.
Seni Menjawab Pertanyaan dengan Pertanyaan yang Lebih Baik

Saat anak sulung bertanya bagaimana HP mengenali wajah, hampir saja kuberikan penjelasan teknis rumit. Tapi malah kami ubah dapur menjadi laboratorium sederhana. Dengan krim kocok dan bubuk kakao, kami bereksperimen “pengenalan wajah ala kadarnya”. Hasilnya? Muka kita pada kayak badak kapling, tapi ngakak sama-sama!
Kami buat “mesin rekomendasi” sederhana menggunakan kertas warna-warni. Setiap magnet mewakili konten berbeda—merah untuk petualangan, biru untuk sains. Saat anak menebak apa yang akan “direkomendasikan” kulkas pintar kami, mereka belajar logika dasar AI in education sambil tertawa riang.
Kuncinya ada pada berani mengakui ketika tidak tahu jawabannya. Saat anak bertanya apakah robot bisa punya perasaan, kami balik bertanya, “Menurutmu apa bedanya perasaan manusia dan mesin?” Terus aku bilang ke Nara, ‘Gue ngga tahu, yuk kita cari tahu bareng!’
Kardus Bekas vs Teknologi Canggih: Membuat AI Jadi Nyata

Semuanya berubah ketika anak bungsu menyebut AI sebagai “hantu internet”. Akhir pekan itu, kami membuat “Profesor Kardus” dari dus mie instan bekas. Di dalamnya ada HP lama yang kami program sederhana. Saat anak menghias kardus itu dengan spidol, kami bahas bagaimana suara manusia berubah menjadi data.
Garasi kami berubah menjadi bengkel AI sederhana. Dus bekas jadi “jaringan saraf” dengan benang penghubung. Mobil-mobilan jadi “titik data” yang berlari antara “server”. Puncaknya ketika anak membuat “teknologi berbagi” untuk rumah bonekanya dengan kertas alumunium. “AI buatanku bantu boneka berbagi mainan,” katanya dengan bangga.
Tarian Waktu Layar: Irama Belajar Hybrid Keluarga Kami

Rabu malam jadi “Waktu Analog-Digital”. Kami pelajari konsep AI in education melalui layar selama 20 menit fokus, lalu beralih ke kegiatan fisik—membuat roda percakapan dari kertas. Ritme ini menghormati kemahiran digital mereka sekaligus menguatkan apa yang tak bisa ditiru algoritma: kegembiraan berkreasi langsung.
Di dapur ada “Kelekaran Pertanyaan” tempat misteri teknologi bersaing dengan teka-teki harian. “Bagaimana aplikasi tahu suara kita?” berdampingan dengan “Kenapa cicak bisa menempel di langit-langit?”. Setiap pertanyaan digital harus memicu aktivitas analog. Penyelidikan kami tentang pengenalan wajah berujung pada sore yang lucu dengan eksperimen pengenalan buah menggunakan anjing peliharaan.
Melalui tarian ini, kami sadar teknologi bersinar paling terang ketika diseimbangkan dengan pengalaman nyata. Momen paling membanggakan ketika anak-anak menghentikan tayangan robot untuk menunjukkan ‘modul empati’ kardus mereka. Mereka belajar apa yang ingin kami ajarkan: inovasi sejati tercipta dari hubungan antara kreativitas manusia dan alat digital.

Source: Bittensor Ecosystem Surges With Subnet Expansion, Institutional Access, Coindesk, 2025/09/13
