
Cuaca mendung menyelimuti kota hari ini, membuat waktunya sempurna untuk refleksi di taman. Saya menyadari pesan dari berita teknologi: kuncinya bukan menggunakan teknologi terbaru, tetapi membangun pemahaman bersama. Ada pepatah Jawa yang selalu relevan:
“Ngundhuh menthes saka banyu, ngrum nganti bondho.”
Filosofi ini begitu harmonis—seperti musik anak—untuk mengukur keberhasilan pengasuhan di era digital.
Mengapa ‘Mendengarkan’ Jadi Kunci untuk Membangun Kepercayaan dengan Anak?
Saat keluarga mencoba memperkenalkan AI melalui permainan, anak bisa kehilangan antusiasmenya. Keluhannya lebih jelas dibaca saat saling berbicara, bukan saling mengira. Saya memutuskan: bisakah kita mulai pengenalan teknologi dari tradisi lokal? Sekarang, ketika dia menemukan maskot AI di play store, kami justru gunakan itu sebagai kisah tentang “Sang Raja Merak Digital”, yang belajar dari alam sebelum membuat sesuatu yang canggih. Sebuah proses yang menangkap kemampuan berpikir lateral dari seorang anak Indonesia.
Di Indonesia, Apa Pendekatan ‘Mendengar Lebih Dulu’ Berarti untuk Keluarga?
Cerita pria Inggris yang menawarkan rekomendasi AI tanpa dasar pemahaman lokal harus dihentikan di tengah perjalanan. Anak akan tolak teknologi yang terasa ‘ancaman’, bukan alat penjelasan. Kami mencoba pendekatan berbeda di rumah: sesi terbuka di mana AI justru menjadi pertanyaan, bukan perintah. Saat putri saya protes tentang suara robot di aplikasi, saya jawab: “Kita bisa bikin kak cerdas ngga kaku kayak mesin, tapi ubah dia jadi karikatur suara yang lebih hidup!” Kita sedang membangun trust, satu byte-tau dengan cerita.
Bagaimana Harus ‘Membangun’ Setelah Mendengarkan dalam Pengasuhan Anak?
Setiap kali tagihan hiburan digital mencapai bulan ini, saya mengingat kesimpulan psikolog daring: “platform teknologi harus bertugas mengikuti alir, bukan memaksanya.” Ketika dia ingin desain semu gambar harimau bermata botak, saya mulai dengan tanya: “Kalau Kak Cerdes (AI) bantu menggambar dulu, kamu mau tambahkan apa?” Momen itu justru menginspirasi taman AI keluarga kami yang mengedepankan momentum keakraban di tengah efisiensi digital.
Langkah Sederhana Menjadi Orang Tua ‘Intuitive Navigators’ di Dunia Digital
Navigasi digital di era anak yang ingin tahu butuh tidak hanya peta GPS, tapi juga haluan intuisi orang tua. Ketika dia membandingkan AI dan mesin foto di kontrakan, saya ajak dia tanya dulu: “Kalau Kak Cerdas bikin brush bulu jari yang ngga nyata, organik atau artificial?” Itu adalah bentuk rehearsal dialog etika yang bikin teknologi merasa lebih bersahabat, tanpa jadi ide gratis.
Kepercayaan yang Tumbuh: Energi Bahagia untuk Lanjut Bersama Teknologi
“Lihat, kuncinya tidak denger-in diamnya Tablet, tapi dengerin suara hati Kakak,” kata ala-ala-panjenengan when building trust. Keluarga kami membuktikan: kalau waktu listening dibangun, resistensi alami anak terhadap kontrol luar berkurang drastis. Karena drugs proses (dan) dialog, dia tahu AI itu seperti Kereta Api Jakarta-Bandung—bantu gerakan, tapi tetap ada konduktornya. Apakah itu aman untuk mimpi masa depan kita? Coba kita urus itu bersama.
Keluarga sebagai Tim yang Inovatif: ‘Ketiadaan Kantuk dalam Keterbukaan’
Mencoba jadi “orang tua-resilien” membuat kami sadar perjalanan digital bukan soal kecepatan, melainkan kolaborasi. Sering kali, penolakan aplikasi baru dari anak bukan tanda tentangan teknologi, melainkan ketiadaan ruang cerita. Saya mengubah approach: sebelum check-in any gadget, kami selalu melakukan diskusi fun-and-game tentang “Rencana Teknologi” mereka. Dasar Kalau semua sistem sukses, anaklah yang susun roadmap!
Sumber: “Listen First, Build Second”, Psychology Today, 2025/09/13
