AI dan Masa Depan Anak: Apa yang Bisa Dipelajari dari Turunnya Pekerja Muda?

AI dan Masa Depan Anak: Apa yang Bisa Dipelajari dari Turunnya Pekerja Muda?Pelajaran untuk Anak Kreatif dan Tangguh di Era AI

Bayangkan ini: Angka pekerja di bawah 25 tahun di industri iklan turun drastis—dari 10% menjadi 6,5% dalam lima tahun. Ini bukan cuma soal pekerjaan, tetapi cermin kekhawatiran yang kadang muncul saat kita melihat anak bermain dengan tablet. Mirip seperti saat si kecil tanya kenapa mainannya rusak, jawabannya selalu lebih dalam dari yang tampak di permukaan. Namun justru di situ kita bisa menemukan pesan penting: Bagaimana menyekolahkan anak tetap terhubung dengan dunia nyata meski teknologi menjamur?

Apakah AI Penyabab Turunnya Pekerja Muda?

Dampak AI pada Karir Muda & Pelajaran untuk Orangtua

Marc Lewis, dekan sekolah iklan, bilang dengan tegas: “AI bukan biang keladi. Kitalah yang mencabut anak tangga paling bawah.” Perusahaan katanya pilih efisiensi jangka pendek, yakni merekrut magang murah, tapi dijejali tugas tak berujung karena katanya “murah dan tak mudah lelah”. Ini ingatkan saya cara saya dulu, pas tergoda kasih tablet ke si kecil saat lagi menggambar agar dia tenang, padahal harusnya membantu dia mengenal batas waktu. Padahal bukan soal larang gadget, tapi mengajarkan bagaimana memanfaatkannya sebagai tali penolong, bukan keharusan yang menggantikan eksplorasi tangan kotori!

Penelitian dari Ipsos & Kantar juga bilang hal menarik: 54% masyarakat tak percaya algoritma yang dipasang tanpa informasi jelas. Tapi kekhawatiran ini bukan soal teknologinya, kok! Ini lebih ke niat di balik layar. Sebagai orangtua, waktunya evaluasi ketika tiba saat tablet jadi pengganti cerita pengantar tidur. Seperti kritik terhadap AI dalam pekerjaan, kita butuh menanamkan perspektif kritis pada anak: Bukan sekadar menggunakannya, tapi memahami bagaimana mesin berpikir, seperti mencoba menggambar komik dengan AI namun tetap melatih tangan sendiri untuk menggambar tokoh favorit mereka.

Bagaimana Menyiapkan Anak dengan Kreativitas di Era AI?

Mengembangkan Kreativitas Anak dengan atau tanpa AI

Katanya Lewis, agensi yang cerdas mencari bukan “digital native”, tapi semacam akror (visual) yang bisa “memahat ide seperti mengasah pisau”. Di rumah, berarti kita mesti selalu kasih ruang buat mendorong si kecil bertanya, “Bagaimana jika…?” Seinget saya, kemarin sore dia senyum lebar banget pas bikin benteng dari bantal dan helm sepeda bekas! Itu kan bukan soal hasilnya. Ini tentang proses meng-coba-coba ide dan membangunnya menjadi sesuatu—sesuatu yang chatbot bahkan tak bisa tiru.

Percobaan asyik: Ajak dia berburu bentuk awan di langit cerah. Minta dia beri nama seperti “Bunga Raksasa Selamat Datang” atau “Raksasa Permen Kapas”. Boleh pakai AI kasih warna awan itu, tapi biarkan imajinasi dia yang menjalankan film ceritanya. Seru, kan?

“Bayangkan AI kayak jaket futuristik yang memperkuat ide kita, tapi bukan menggantikan usaha. Kita tetap harus punya ide yang mandiri.”
—Marc Lewis

Bagaimana Kolaborasi Manusia dan Mesin Memberdayakan Anak?

Pondasi Kreativitas dan Empati untuk Generasi Depan

Di dunia kerja, ceritanya seperti ini. Trus gimana di rumah, di ruang kecil dunia kita? WIRED catat penolakan terhadap AI ketika digunakan menggantikan peran manusia hingga tanpa imajinasi menarik. Tapi sebenarnya, kreativitas muncul karena kombinasi yang benar—seperti saat kita sepakat satu ide harus dibentuk dan dikembangkan bersama. Kita gunakan gps di tablet kali ya lari buru tempat main baru, tapi si kecil yang menentukan ayunan ungu di sebelah pohon jambu langsung dicoba dulu. Hal-hal kecil kayak gini yang bikin dia belajar kompromi dan gigih!

Kisah iklan “Dear Sydney” yang kontroversial mengingatkan kita betapa AI bisa jadi kaku dalam menyampaikan pesan. Favoritnya saya? Saat si kecil pudar bermain petakumpet di taman dan terus kembali ke pelukan kita pas capek. Itu gitu, kehangatan yang nggak ada algoritma pun nyia-nyiu bisa beli! Teknologi AI boleh super canggih, tapi perasaan itu nggak bisa dibeli dan diganti pecobaan bot robot saja.

Bagaimana Membangun Fondasi Kuat untuk Anak Hadapi Perubahan?

Pelajaran Penting untuk Masa Depan Anak

Lalu apa yang bisa dilakukan mulai besok pagi (misalnya saat jalan ke taman atau mengamati daun talas di kolam)? Pertama, ajari anak untuk meragukan narasi. Jelaskan bahwa AI bukan segalanya, meskipun banyak janjikan otomatis tapi manusia tetap punya suara. Kedua, fokuskan usaha pada eksplorasi nyata: ngeliat semut di taman, eksperimen dengan campuran warna cat, atau bikin kapal dari karton bekas. Dua-duanya bisa kerja bergandengan tangan, kok.

Dunia memang kerja-cepat—kayak kain batik yang diproses instan tapi mengurangi keindahan ukiran manual. Tapi manusia dengan pikiran yang lentur dan hati yang hangat justru nggak akan menghilang! Di tengah teriknya musim panas hangat ini, saat bermain di area taman bareng si kecil, saya mikir: Seperti pohon, anak juga butuh akar kreativitas yang kuat sebelum melambung tinggi. Jadi, bukan hanya pakai AI, tapi melatih si kecil menjelaskan kenapa mereka suka makan di luar atau membandingkan jenis awan dengan permainan kartu.

Sekali lagi, mungkin masalahnya bukan alatnya. Lebih pas ditanya: Nilai apa yang kita prioritaskan buat para pekerja muda berikutnya? Coba jawab dengan melihat ke sekeliling kita, sahabat. Apakah kita sadar bagaimana pilihan kita kini membentuk masa depan mereka?

Source: Direct your anger not at AI but the adland bosses choosing it over young people, The Drum, 2025-08-14 12:34:00

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top