Kecerdasan Buatan, dan Kesabaran Hati Seorang Ibu

Seorang ibu dengan sabar membantu putrinya mengerjakan PR di meja makan yang hangat.

Akhirnya rumah ini senyap juga, ya. Hanya suara pendingin ruangan dan napas kita yang terdengar. Aku tadi iseng baca berita di ponsel, tentang bagaimana kecerdasan buatan atau AI sekarang dikembangkan untuk jadi guru privat.

Katanya, AI ini bisa menjawab pertanyaan yang sama berulang kali tanpa lelah, menyesuaikan cara mengajar untuk setiap anak, bahkan di daerah terpencil sekalipun. Canggih sekali, kan?

Tapi saat aku membaca itu, entah kenapa, hati ini langsung teringat kamu, lho. Bukan teknologinya, tapi wajah lelahmu tadi sore, yang tetap tersenyum saat menemani si kecil mengerjakan PR matematikanya. Artikel itu bicara tentang mesin, tapi aku justru melihat gema dari kekuatan tulus yang paling dalam—kekuatan yang selalu kamu tunjukkan, setiap hari, tanpa henti!

Mesin dengan Kesabaran Tanpa Batas, dan Kamu

Seorang ayah dan anak perempuan melihat tablet bersama, belajar dengan cara yang menyenangkan.

Di artikel itu disebutkan, salah satu kehebatan AI adalah kesabarannya yang tak terbatas. Seorang anak bisa bertanya ‘kenapa langit biru?’ seratus kali, dan AI akan menjawabnya seratus kali dengan sabar. Terdengar hebat.

Tapi kemudian aku teringat momen tadi. Aku dengar dari ruang kerja, bagaimana si kecil terus-terusan bilang ‘nggak ngerti’ pada soal pembagian yang sama. Aku tahu kamu pasti lelah sekali. Pulang kantor menembus kemacetan, menghadapi hari yang panjang, dan masih ada puluhan pesan yang belum sempat terbalas.

Siapapun akan maklum jika kamu kehilangan kesabaran. Tapi kamu tidak. Kamu menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil beberapa kancing baju dan berkata, ‘Oke, kita coba pakai ini ya, pura-puranya ini kue yang harus dibagi’.

Kamu tidak hanya menjawab, kamu masuk ke dunianya. Teknologi mungkin bisa meniru jawaban, tapi ia tidak bisa meniru cara matamu menatapnya dengan penuh pengertian. AI itu ‘diprogram’ sabar, tapi kesabaranmu itu… wah, lahir langsung dari hati, lho! Itulah bedanya, dan itu segalanya buatku.

Belajar yang ‘Pas’ untuk Satu Anak

Anak perempuan kecil menggunakan tablet untuk menggambar, mengubah ide digital menjadi kreativitas.

Berita itu juga menyoroti bagaimana AI bisa menciptakan ‘pengalaman belajar yang disesuaikan’. Sistem akan menganalisis di mana letak kesulitan seorang anak dan memberikan materi yang paling pas untuknya. Sebuah pendekatan yang sangat personal dan efisien.

Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum. Aku teringat saat si kecil kesulitan belajar membaca. Semua metode dari sekolah sepertinya tidak berhasil membuatnya tertarik.

Lalu kamu, alih-alih memaksanya membaca buku pelajaran, kamu malah mengajaknya membaca bungkus camilan kesukaannya. Kamu tahu dia suka dinosaurus, jadi kamu mencarikan cerita-cerita sederhana tentang T-Rex. Kamu tidak butuh algoritma untuk tahu apa yang ‘pas’ untuk anak kita.

Kamu adalah ‘sistem belajar personal’ yang paling canggih, karena datamu bukan angka, tapi cinta dan intuisi seorang ibu. Kamu tahu kapan harus mendorong, dan kapan harus memeluknya dan berkata, ‘kita coba lagi besok’.

Bukan Sekadar Angka, tapi Rasa Percaya Diri

Tangan seorang ibu dan anak yang saling berpegangan, melambangkan koneksi dan dukungan emosional.

Tujuan akhir dari semua teknologi pendidikan ini, kata artikel itu, adalah ‘hasil belajar yang terukur dan berdampak’. Tentu, nilai bagus itu penting. Tapi, melihat perjalanan kita membesarkan anak, aku sadar ada dampak lain yang jauh lebih berharga.

Aku melihatnya dengan jelas tadi sore. Setelah beberapa kali mencoba dengan kancing-kancing itu, tiba-tiba matanya berbinar. Ia berteriak kecil, ‘Aku bisa! Aku bisa, Bunda!’. Bukan angka 100 di kertas ulangannya yang menjadi tujuanmu, kan? Melainkan binar di matanya itu. Momen ketika ia percaya pada dirinya sendiri.

Itulah ‘dampak’ yang sesungguhnya. Teknologi bisa membantu anak menjawab soal, tapi kamulah yang mengajarinya untuk tidak takut pada kesalahan, untuk berani mencoba lagi, dan untuk merasakan kebahagiaan saat berhasil mengatasi tantangan.

Teknologi tercanggih, guru paling sabar, dan sistem belajar paling personal di dunia ini… sudah ada di sini. Itu kamu.

Mungkin suatu hari nanti, AI dalam pendidikan akan menjadi alat bantu yang luar biasa. Itu bagus. Tapi malam ini, di tengah sunyinya rumah kita, aku hanya ingin kamu tahu. Terima kasih sudah menjadi hati dari rumah ini, Sayang. Terima kasih untuk semua kesabaranmu yang tanpa batas.

Oh ya, kalau penasaran soal tren AI di pendidikan ini, ada artikel menarik di Economic Times Indiatimes yang membahasnya. Seru banget melihat bagaimana teknologi berkembang pesat! Sumbernya di sini ya: Driven by AI, edtech funding rebounds with 5X surge in H1 2025, Economic Times Indiatimes, 2025-09-15.

Postingan Terbaru

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top