
Rumah akhirnya senyap, ya. Hanya suara kipas angin dan dengung kulkas yang menemani. Aku suka saat-saat seperti ini, saat hiruk pikuk seharian—macet di jalan, rentetan pekerjaan, sampai drama memilih mainan sebelum tidur—akhirnya mereda dan hanya menyisakan kita berdua.
Sambil melihatmu terlelap tadi, aku iseng membaca sebuah artikel. Topiknya agak aneh untuk direnungkan malam-malam begini: tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) punya kemiripan dengan cara berpikir yang berbeda. Misalnya, bagaimana AI sering kali memahami perintah secara harfiah, tanpa menangkap sarkasme atau kiasan.
Awalnya terdengar teknis sekali. Tapi semakin kubaca, aku tidak melihat barisan kode atau robot. Aku justru melihat kita. Aku melihat momen-momen kecil di rumah ini, dan terutama, aku melihat kekuatanmu yang luar biasa, yang sering kali tak terlihat.
Kemiripan yang Membuat Kita Berpikir Ulang
Artikel itu memberi contoh sederhana: jika kita meminta AI mencari gambar ‘apel’, ia mungkin akan menampilkan buah, bukan merek teknologi yang kita maksud, kecuali kita memberinya konteks yang sangat spesifik. AI tidak berasumsi, ia memproses informasi yang diberikan.
Seketika aku teringat kejadian tadi sore. Ingat saat aku bilang ke anak kita, “Ayo, rapikan duniamu,” sambil menunjuk kamarnya yang berantakan? Ia hanya berdiri diam, menatap tumpukan mainannya dengan bingung. Dunianya? Di mana harus memulai?
Lalu kamu datang, berlutut di sebelahnya, dan berkata dengan lembut, “Kita mulai dari rumah para dinosaurus dulu, ya? Mereka kita kembalikan ke kotak hijau.” Dan begitu saja, ‘dunianya’ yang abstrak berubah menjadi satu tugas yang jelas. Ia langsung bergerak.
Aku sering kali lupa bahwa duniaku dan dunianya bisa jadi diterjemahkan dengan cara yang berbeda. Aku memakai kiasan, sementara ia butuh instruksi yang lurus dan logis. Melihatmu sore tadi, aku sadar kamu tidak sedang ‘memperbaiki’ kesalahpahamannya. Kamu sedang menerjemahkan duniaku ke dalam bahasanya. Sama seperti para programmer yang belajar memberi perintah yang lebih baik pada AI, kamu secara naluriah tahu cara berkomunikasi agar ia merasa dipahami, bukan disalahkan. Itu bukan sekadar kesabaran, itu adalah keahlian.
Dari Rumah Kita untuk Dunia yang Lebih Inklusif

Artikel itu memberi contoh sederhana: jika kita meminta AI mencari gambar ‘apel’, ia mungkin akan menampilkan buah, bukan merek teknologi yang kita maksud, kecuali kita memberinya konteks yang sangat spesifik. AI tidak berasumsi, ia memproses informasi yang diberikan. Ini membuatku berpikir lebih jauh tentang bagaimana kita membangun ‘sistem’ di rumah ini.
Penulis artikel itu berpendapat bahwa dengan memahami cara kerja AI yang ‘kaku’, para pengembang teknologi justru bisa menciptakan produk yang lebih baik dan inklusif untuk semua orang. Mereka belajar untuk tidak berasumsi, untuk memberikan pilihan, dan mendesain sesuatu dari berbagai sudut pandang. Mereka sadar bahwa tidak ada satu cara ‘normal’ dalam memproses informasi.
Lagi-lagi, aku teringat caramu mengatur rumah ini. Cara kamu menempel label gambar di kotak mainan, bukan hanya tulisan, agar anak kita lebih mudah mengenali isinya. Cara kamu membuat jadwal harian dengan simbol-simbol visual, memberinya kepastian di tengah hari yang terkadang tak terduga. Kamu tidak melakukannya karena membaca buku panduan. Kamu melakukannya karena kamu mengamati, mendengarkan, dan merasakan apa yang ia butuhkan.
Tanpa sadar, kamu telah menerapkan prinsip ‘desain inklusif’ di jantung keluarga kita. Kamu membangun sebuah sistem di mana setiap orang, dengan segala keunikannya, punya ruang untuk berkembang.
Hal yang di dunia teknologi disebut ‘inovasi’, di rumah ini adalah wujud dari cintamu. Dan hasilnya? Jauh, jauh lebih berharga dari aplikasi secanggih apapun! Hasilnya adalah rasa aman dan kepercayaan di mata anak kita.
Empati Sebagai ‘Pembaruan Perangkat Lunak’ Kita
Mungkin inilah pelajaran terbesarnya, baik dari teknologi maupun dari kebersamaan kita. Terkadang, masalahnya bukan pada ‘program’ anak kita, tapi pada ‘perangkat lunak’ kita sebagai orang tua yang perlu diperbarui. Aku sering terjebak pada ekspektasiku sendiri, pada cara ‘seharusnya’ sesuatu dilakukan. Aku ingin cepat, efisien, dan logis menurut ukuranku.
Sementara kamu, kamu selalu mengingatkanku untuk berhenti sejenak dan bertanya, “Apa yang sebenarnya ia coba sampaikan?” Kamu lebih tertarik untuk memahami ‘kode sumber’-nya daripada sekadar melihat ‘output’-nya yang mungkin keliru. Kesabaranmu dalam menghadapi setiap ‘error’ dalam komunikasi kita sehari-hari adalah pelajaran empati yang paling nyata buatku.
Melihatmu, aku belajar bahwa menjadi orang tua—menjadi partner—bukanlah tentang memiliki semua jawaban. Ini tentang kemauan untuk terus belajar, untuk memperbarui cara pandang kita, dan yang terpenting, untuk selalu memilih koneksi di atas koreksi. Terima kasih, ya, sudah menjadi ‘programmer’ hati di keluarga ini. Algoritma cintamu membuat semuanya berjalan dengan jauh lebih indah.
Source: Is AI on the Spectrum?, Psychology Today, 2025-09-14.
