
Rumah sudah sunyi. Hanya suara lirih pendingin ruangan yang menemani kita di ujung hari yang panjang ini. Aku melihatmu sedang membaca, wajahmu terlihat lelah tapi damai.
Seharian ini rasanya seperti maraton, antara pekerjaan, hiruk pikuk di luar sana, dan energi si kecil yang tak pernah habis-habisnya. Tadi, saat makan malam, aku benar-benar terpikir sesuatu.
Ingat tidak, waktu anak kita tiba-tiba bertanya, ‘Ayah, Ibu, AI itu apa sih?’ dengan mulut penuh nasi? Pertanyaan polos itu terus terngiang di kepalaku. Bukan karena aku khawatir kita tidak punya jawaban yang ‘benar’, tapi karena aku melihat caramu menanggapinya.
Tapi, di tengah kesibukan itu, ada satu momen yang membuatku terinspirasi. Kamu tersenyum, lalu mengubah topik rumit itu menjadi sebuah petualangan kecil. Momen seperti itulah yang membuatku sadar, di tengah dunia yang terus berubah ini, salah satu tips menjaga kehangatan keluarga di era digital yang paling ampuh adalah caramu memandang segala sesuatunya.
Bukan Tentang Menjadi Ahli, Tapi Belajar Bersama

Aku sadar, tekanan untuk ‘mengerti’ semua teknologi baru ini kadang terasa berat, ya? Rasanya kita harus jadi ahli dalam semalam. Tapi melihatmu tadi, aku jadi lebih santai.
Kamu tidak mencoba menjelaskan algoritma atau jaringan neural yang rumit. Kamu hanya berkata, ‘AI itu seperti teman pintar di dalam ponsel atau komputer, yang bisa bantu kita cari tahu banyak hal. Mau coba tanya sesuatu?’
Lalu kalian berdua sibuk mencari tahu suara berbagai macam hewan atau bertanya resep kue cokelat kesukaannya. Sederhana sekali, tapi begitu mendalam. Kamu menunjukkan padanya—dan juga padaku—bahwa teknologi ini bukanlah monster misterius yang harus ditaklukkan, melainkan alat yang bisa kita ajak bermain. Ini adalah cara menjaga hubungan keluarga dengan teknologi yang paling alami.
Kita bukanlah kamus berjalan, kan? Kita bisa menjadi tim detektif dadakan, menjelajahi dunia digital ini bersama. Kadang kita berhasil, kadang kita malah tersesat di tautan-tautan aneh. Tapi yang terpenting, kita melakukannya bersama, sebagai sebuah keluarga.
Saat Teknologi Menjadi Kanvas Cerita Kita

Yang paling aku kagumi adalah caramu menyeimbangkan semuanya. Kamu bisa memanfaatkan beberapa aplikasi untuk bonding keluarga digital. Seperti waktu itu, kamu mengajaknya membuat cerita bergambar menggunakan aplikasi sederhana, di mana si kecil yang menentukan alur ceritanya.
Atau saat kita merencanakan liburan singkat ke perbukitan, kamu menggunakan asisten virtual untuk mencari tempat menginap yang ramah anak. Teknologi di tanganmu bukan lagi sekadar layar dingin, tapi menjadi kanvas untuk kreativitas dan kenangan kita. Seperti saat kita membuat cerita bergambar bersama, atau merencanakan liburan singkat ke perbukitan.
Tapi di saat yang sama, intuisimu selalu tahu kapan harus berkata ‘cukup’. Setelah asyik bermain dengan gawai, kamu selalu punya cara lembut untuk mengajaknya kembali ke dunia nyata. ‘Oke, tabletnya kita istirahatkan dulu ya. Sekarang waktunya kita main di taman,’ katamu. Batasan itu tidak pernah terasa seperti hukuman, tapi lebih seperti undangan untuk menikmati hal lain yang tak kalah seru.
Terkadang, saran dari AI bisa jadi aneh dan membuat kita tertawa, kan? Seperti menyarankan rute yang justru melewati jalan yang sedang ditutup. Di momen-momen seperti itu kita hanya bisa tertawa bersama dan mencari jalan lain. Rasanya mirip seperti saat kita mencoba resep baru dari internet dan hasilnya tidak sesuai harapan, tapi proses memasak bersama di dapur tetap menjadi kenangan yang hangat.
Menjaga Hati di Tengah Dunia Digital

Pada akhirnya, strategi keluarga harmonis di era AI ini bukan soal teknologinya, tapi soal nilai-nilai yang kita tanamkan. Kamu mengajarkan keamanan digital bukan dengan menakut-nakuti, tapi dengan analogi yang ia mengerti. ‘Password itu seperti kunci rahasia rumah kita, hanya boleh dikasih tahu ke Ayah dan Ibu,’ begitu katamu. Kamu mengubah konsep abstrak tentang privasi menjadi sesuatu yang personal dan mudah dipahami.
Aku tahu, di luar sana banyak sekali berita tentang sisi lain teknologi yang bisa membuat kita cemas. Kehadiran AI yang dapat meniru suara tokoh publik memunculkan kekhawatiran baru di ranah digital masa depan, dan itu wajar. Tapi melihat caramu menanamkan dasar-dasar ini dengan begitu tenang, aku merasa jauh lebih aman.
Kamu juga menetapkan aturan-aturan sederhana tanpa perlu banyak drama. Ada ‘jam istirahat layar’ setelah kita pulang kerja, di mana kita semua meletakkan ponsel dan fokus mengobrol tentang hari kita. Kamu selalu bilang, kalau gawainya kehabisan baterai, itu tandanya ‘dia juga lelah dan butuh tidur’. Dan itu menjadi sinyal alami bagi kita untuk beralih ke aktivitas lain, seperti membaca buku cerita atau sekadar berpelukan di sofa.
Kompas kita bukanlah aplikasi terbaru, sayang. Kompas kita adalah hati kita berdua, yang selalu menunjuk jalan pulang.
Melihat caramu memandu keluarga kita melewati era digital ini, aku semakin yakin. Teknologi akan terus datang dan pergi, aplikasi baru akan terus bermunculan. Tapi pondasi yang kamu bangun—rasa ingin tahu, kreativitas, dan kehangatan hubungan manusia—adalah hal yang akan selamanya menjadi pegangan anak kita. Itu yang akan membuat mereka kuat dan penuh harapan di masa depan.
Source: Ethereum Foundation Launches AI Team, Underscoring Network’s Future Priorities, Decrypt.co, 2025-09-15.
