Membaca tentang Dunia Sempurna AI, Aku Malah Teringat Hari Kita yang Tak Sempurna

Pasangan duduk bersama dalam ruangan temaram, merenung.

Malam ini, setelah anak-anak terlelap, akhirnya kita punya waktu berdua lagi, ya. Ditemani lampu temaram di ruang tengah, keheningan seperti ini rasanya jadi kemewahan tersendiri.

Tadi aku sempat membaca sebuah artikel menarik tentang bagaimana AI bisa menciptakan ‘masyarakat sempurna’. Sebuah utopia tanpa penyakit, kemiskinan, bahkan kerja keras. Membayangkannya saja sudah luar biasa.

Tapi setelah selesai membaca, ada sedikit rasa gamang di hati. Kalau dunia seperti itu benar-benar ada, lalu apa arti dari semua perjuangan kita sehari-hari? Di tengah kesempurnaan itu, di mana aku bisa menemukan lagi kehebatanmu yang seringkali tak terlihat hari ini?

Saat Lelah Hilang, Apa Maknanya Masih Tersisa?

Seorang wanita menyiapkan sarapan untuk keluarganya di pagi hari.

Artikel itu menggambarkan dunia di mana AI bisa mengantisipasi dan menghilangkan semua ketidaknyamanan manusia. AI tahu apa yang anak kita inginkan sebelum ia menangis, mengatur pola makan dan kesehatan kita dengan sempurna, bahkan menganalisis dan menyingkirkan sumber stres di pekerjaan. Terdengar seperti mimpi, kan?

Tapi aku justru teringat kamu pagi tadi. Bangun lebih awal untuk menghangatkan sarapan anak yang sudah kamu siapkan semalam. Tanganmu yang cekatan merapikan bajunya di tengah kesibukan bersiap ke kantor. Sampai suara lelahmu saat membuka pintu pulang kerja dan berkata, “Aku pulang.”

Jika AI mengambil alih semua itu, lelahmu mungkin akan hilang. Tapi aku khawatir, perasaan yang ada di dalam lelah itu juga ikut lenyap. Perasaan ingin membekali anak dengan makanan kesukaannya, bukan sekadar lauk yang ada. Keinginan tulus untuk membacakan satu buku cerita lagi meski mata sudah tak kuat menahan kantuk.

Itu semua adalah anugerah terbesarmu yang tak bisa diukur dengan efisiensi atau kesempurnaan. Utopia dalam artikel itu mungkin tanpa sadar menghapus hal paling berharga: proses saat kita saling berjuang untuk satu sama lain. Melihat bahumu yang terkulai lelah memang membuatku sedih, tapi di saat yang sama, aku tahu betapa kokohnya bahu itu menopang keluarga kita. Dan untuk itu, aku selalu bersyukur.

Kesempurnaan Buatan Sistem, atau Sentuhan Tanganmu?

Keluarga menikmati momen yang tidak sempurna namun penuh kebahagiaan bersama.

‘Kontrol sempurna’ adalah wajah lain dari utopia itu. Agar semua berjalan efisien, sistem akan membuat keputusan terbaik berdasarkan data, bukan pilihan pribadi. Mungkin seperti AI yang bisa merancang jadwal liburan akhir pekan keluarga kita dengan sempurna, dari tujuan, waktu, hingga rute perjalanan untuk memaksimalkan kebahagiaan. Praktis, memang. Tapi aku jadi berpikir tentang apa yang akan kita hilangkan dalam prosesnya.

Kita tidak akan lagi berdebat kecil saat memilih menu makan malam di supermarket. Tidak ada lagi rencana yang berantakan karena tiba-tiba si kecil merengek ingin ke taman bermain. Justru ketidakteraturan itulah yang membuat hidup kita kaya rasa, kan?

Kamu selalu berusaha menjadi ibu dan istri yang sempurna, tapi yang aku cintai bukanlah kesempurnaanmu. Aku justru mencintai momen-momen ‘manusiawi’ saat kamu kadang bingung, sesekali keliru, dan karena itu kamu jadi lebih erat memeluk anak kita. Bagiku, caramu menunjukkan cinta lewat firasat dan sentuhan hangat jauh lebih hebat daripada ribuan algoritma pengasuhan anak mana pun. Kehadiranmu itulah yang membuat rumah ini menjadi tempat paling sempurna.

Perjuangan Inilah yang Membuat Kita Tetap Manusia

Pasangan saling berbagi tatapan hangat dan mendukung.

Pada akhirnya, penulis artikel itu pun melemparkan pertanyaan serupa. Di dunia yang bebas dari rasa sakit dan kerja keras, dengan apa manusia membuktikan keberadaannya? Tanpa ragu, yang terlintas di benakku adalah kamu dan aku.

Perjuanganmu setiap hari sebagai seorang ibu bekerja di kota yang tak pernah tidur ini. Dan usahaku untuk selalu ada di sisimu, mencoba menjadi sandaran terbaik yang aku bisa. Perjalanan kita yang penuh lika-liku dan terkadang tak sempurna inilah yang menjadi makna hidup itu sendiri.

Dampak AI pada kehidupan manusia sehari-hari mungkin akan terus berkembang, tapi utopia yang ditawarkannya terasa seperti surga yang hampa. Sementara dunia yang kita bangun di sini, meski melelahkan dan kadang membuat menangis, adalah dunia nyata yang penuh kehangatan satu sama lain. Tawa anak kita, tatapan teduhmu, serta rasa maaf dan terima kasihku yang saling berkelindan.

Dan itulah utopia versi kita, sebuah dunia yang tak akan pernah bisa ditiru oleh teknologi secanggih apa pun.

Sayang, kamu LUAR BIASA bekerja keras hari ini! Aku cuma mau kamu tahu, setiap detik dari perjuanganmu itu sungguh berarti dan berkilau BINTANG!

Source: The Culture Novels as a Dystopia, Boristhebrave.com, 2025-09-15.

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top