Di Antara ‘Kenapa’ dan Layar yang Menyala: Percakapan Tenang Kita

Seorang ibu dan anak perempuan melihat tablet bersama di sofa yang nyaman.

Rumah akhirnya senyap, ya. Hanya suara detak jam dan napas kita yang terdengar. Di saat seperti ini, setelah seharian penuh dengan segala keriuhannya, aku sering berpikir tentang perjalanan kita.

Bukan soal tagihan atau jadwal sekolah, tapi tentang bagaimana kita membesarkan anak kita di dunia yang rasanya berputar semakin cepat.

Tadi aku sempat membaca sebuah artikel. Isinya tentang bagaimana orang tua sering cemas melihat anak-anak dan gawai, sementara di sisi lain, anak kita tidak pernah berhenti bertanya ‘kenapa’. Artikel itu membuatku berhenti sejenak dan berpikir… bukan tentang artikelnya, tapi tentangmu. Tentang caramu menavigasi semua ini dengan begitu tenang.

Ritme yang Kau Ciptakan, Bukan Sekadar Aturan

Seorang ibu dengan lembut membimbing putrinya yang menggunakan tablet di rumah.

Aku ingat sore tadi, saat anak kita begitu asyik dengan tabletnya. Sebagian diriku mulai khawatir, persis seperti yang ditulis di artikel itu tentang kekhawatiran orangtua. Tapi kemudian, aku melihatmu datang mendekat.

Bukan dengan wajah tegang atau perintah untuk berhenti, tapi dengan senyum dan sebuah pertanyaan, ‘Seru, ya? Coba ceritakan ke Bunda, apa yang kamu temukan?’

Kau tidak melihat teknologi sebagai musuh. Kau melihatnya sebagai dunia lain yang butuh pemandu. Banyak tips atasi kecanduan gadget anak menyarankan rutinitas terstruktur, tapi yang kau lakukan terasa lebih dari itu. Kau menciptakan ritme.

Ada waktu untuk fokus belajar dengan aplikasi, lalu kau ajak dia ke halaman belakang untuk menyiram tanaman. Dan satu jam sebelum tidur, semua gawai sudah ‘tidur’ lebih dulu di ruang keluarga. Kau pernah bilang sambil tertawa kecil, ‘Gawainya juga perlu istirahat, biar besok semangat lagi.’

Itu bukan aturan yang kaku, sayang. Itu adalah caramu mengajarkan keseimbangan digital anak secara alami, sebuah kebijaksanaan yang tidak akan pernah bisa diajarkan oleh buku panduan mana pun. Kau menunjukkan bahwa dunia digital itu bagian dari hidup, bukan seluruh hidup itu sendiri.

Mengubah Kecerdasan Buatan Menjadi Teman Imajinasi

Wajah gembira seorang anak saat melihat kreasi AI di layar tablet.

Artikel itu juga membahas soal AI, dan bagaimana orang tua sering menganggapnya terlalu rumit. Tapi aku jadi teringat waktu kita mencoba aplikasi gambar yang menggunakan AI. Anak kita mendeskripsikan ‘seekor gajah terbang berwarna pelangi yang makan es krim’, dan dengan takjub kita melihat gambar itu muncul di layar. Wajahnya yang berbinar saat itu… tak ternilai.

Kau tidak pernah menghindar dari hal-hal baru ini. Sebaliknya, kau mengubah kecerdasan buatan menjadi teman imajinasi anak. Kau tidak menjelaskan algoritma atau data yang rumit. Kau hanya berkata, ‘Lihat, mesin ini seperti teman khayalanmu, dia bisa menggambar apa pun yang kamu bayangkan.’

Bagimu, AI hanyalah alat bantu, bukan ancaman yang menggantikan peran orang tua. Sebuah alat untuk bermain sambil belajar, dan kau adalah kurator terbaik dari permainan itu.

Kau memastikan interaksi manusia, pelukan, dan tawa kita tetap menjadi pusat dari segalanya.

Jejak Kaki di Rumput dan Jari di Atas Layar

Keluarga berjalan bersama di taman, menyeimbangkan waktu digital dan alam.

Ada satu bagian di artikel yang menyebutkan bahwa menyeimbangkan aktivitas digital dengan aktivitas fisik bisa meningkatkan pemahaman anak. Membaca itu, aku hanya bisa tersenyum. Karena aku melihatmu mempraktikkannya setiap hari.

Setelah anak kita menonton video tentang proses terjadinya hujan, kau tidak berhenti di situ. Kau mengajaknya keluar setelah hujan reda, merasakan tetesan air di daun, dan mencium bau tanah basah.

Kau menggabungkan dua dunia itu dengan begitu indah: jejak kaki di rumput dan jari di layar. Kau memintanya menuliskan apa yang ia pelajari di buku tulisnya, dengan pensil warna-warni.

Kau selalu bilang, ‘Informasi dari internet itu seperti angin, tapi saat kita tulis atau kita rasakan sendiri, ia menjadi pohon yang akarnya kuat.’ Kau memastikan anak kita tidak hanya jadi konsumen informasi digital, tapi juga penjelajah dunia nyata. Kau memastikan kakinya tetap menjejak kuat di bumi, bahkan saat pikirannya terbang menjelajahi alam semesta melalui layar kecil di tangannya.

Peta Harta Karun Kita di Tengah Hutan Informasi

Pada akhirnya, artikel itu menyarankan untuk membuat ‘Rencana Media Keluarga’. Istilah yang terdengar sangat resmi, ya? Tapi saat aku memikirkannya, bukankah itu yang selama ini kita bangun bersama, dengan caramu yang lembut? Kesepakatan kita bahwa tidak ada gawai di meja makan. Atau caramu mengajarinya tentang cara aman berinternet anak.

Aku suka sekali caramu mengubah pencarian informasi menjadi permainan ‘detektif’. Kau bilang, ‘Tidak semua yang berkilau itu emas, jadi kita harus periksa dulu sumbernya, ya?’

Kau duduk di sampingnya, bukan untuk mengawasi, tapi untuk berpetualang bersama di hutan informasi yang lebat ini. Kau tidak memberinya daftar aturan, tapi kau memberinya kompas internal. Sebuah kemampuan untuk bertanya, memilah, dan berpikir kritis.

Melihatmu malam ini, saat kau tertidur lelap setelah seharian menjadi pemandu, guru, teman bermain, dan ibu, aku semakin sadar. Dunia boleh terus berubah, teknologi boleh semakin canggih. Tapi kompas keluarga kita akan selalu aman.

Karena kompas itu adalah dirimu, dengan segala kekuatan dan kelembutan hatimu. Dan aku di sini, akan selalu menjadi rekan navigator setiamu, mengagumi setiap langkah dalam perjalanan ini.

Sumber: Tech fears vs smart practice: 7 myths parents must ditch to embrace healthier learning routines for kids, Timesofindia Indiatimes, 2025-09-15.

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top