
Bayangkan anak kita pulang sekolah, membawa gambar buatannya sendiri dengan bangga. Dibuat dengan coretan tangannya, penuh imajinasi. Sekarang, bayangkan jika gambar itu tiba-tiba digantikan oleh sesuatu yang dihasilkan mesin—cepat, efisien, tapi… terasa ada yang hilang. Beberapa hari lalu, aku nemu artikel seru tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) mulai mengubah lanskap pekerjaan di dunia seni visual.
Nah, ini bukan cuma sekadar berita teknologi lho—ini cerita tentang mata pencarian, harapan, dan bagaimana kita, sebagai orang tua, mempersiapkan anak-anak kita untuk masa depan yang terus berubah. Hei, ini bukan cuma soal seniman lho—ini soal merayakan imajinasi tiap coretan di kertas! Sungguh sebuah percakapan yang harus kita mulai, bukan? Setiap pagi, kami cuma butuh lima menit jalan kaki ke sekolah si kecil, lalu biasanya mampir main di taman sebelah sebelum pulang.
Seniman Merasa Tergeser, Apa Kabar Anak-anak Kita?

Artikel yang saya baca itu benar-benar membuat saya berpikir keras. Para seniman visual, ilustrator, dan desainer grafis menceritakan bagaimana AI kini digunakan untuk menekan upah, menurunkan kualitas pekerjaan, bahkan menggantikan mereka sepenuhnya.
Ini bukan sekadar ‘oh, ada teknologi baru’, tapi ini adalah suara-suara yang kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber penghidupan, dan yang paling menyakitkan, kehilangan harapan. Saya ingat salah satu cerita, di mana seorang ayah yang juga seorang seniman, merasa sangat terpukul ketika orang tuanya sendiri mengirimkan gambar hasil AI untuk merayakan ulang tahunnya, dengan namanya yang dieja salah! Rasanya seperti kerja keras bertahun-tahun, kecintaan pada seni, dan dukungan penuh dari orang terkasih, berakhir dengan rasa kecewa. Ini adalah dampak nyata yang harus kita lihat.
Kekhawatiran utamanya bukan karena AI bisa menghasilkan karya yang ‘lebih baik’ dari manusia, tapi karena klien, manajer, bahkan konsumen, mungkin akan merasa karya AI ‘sudah cukup bagus’. Dan ketika ‘cukup bagus’ ini menjadi standar, perusahaan akan cenderung menekan bayaran dan mengikis kemampuan seniman untuk mencari nafkah. Bayangkan betapa ngerinya bagi mereka yang menggantungkan hidup pada kreativitasnya! Data dari berbagai laporan juga menunjukkan adanya penurunan tawaran kerja, hilangnya klien, dan banyak proyek yang mengering. Ini bukan hanya masalah upah, tapi hilangnya kesempatan berkarya secara utuh.
Menariknya, banyak seniman yang merasa proses AI ‘menggaruk’ karya mereka dari internet tanpa izin itu tidak etis. Mereka khawatir hak cipta mereka dilanggar, dan yang lebih penting lagi, penurunan pendapatan di masa depan. Data survei menunjukkan hampir 90% seniman khawatir hukum hak cipta sudah ketinggalan zaman, dan lebih dari separuh takut dampaknya pada pendapatan mereka. Ini adalah isu krusial yang perlu kita perhatikan, terutama ketika kita mengajarkan anak-anak kita tentang hak cipta dan nilai sebuah karya.
Di negara-negara seperti Inggris, pendapatan rata-rata seniman visual sangatlah rendah, jauh di bawah upah minimum. Dan ini terjadi bahkan sebelum dampak AI sepenuhnya terasa! Laporan lain menyebutkan bahwa dalam tiga tahun ke depan, ratusan ribu pekerjaan di industri hiburan, termasuk di sektor game, diperkirakan akan terganggu oleh AI. Angka-angka ini sungguh mencengangkan dan membuat kita berpikir, bagaimana kita bisa membekali anak-anak kita dengan keterampilan yang relevan di masa depan? Dampak AI pada seniman dan dunia kreatif memang perlu dipahami dengan bijak.
Menghadapi AI di Rumah: Bagaimana Kita Mengajarkan Anak-Anak?

Mendengar cerita-cerita ini, sebagai orang tua, wajar jika kita merasa cemas. Di satu sisi, kita ingin anak-anak kita memiliki masa depan yang cerah dan aman. Di sisi lain, kita juga ingin mereka tetap menjadi diri mereka sendiri, mengejar apa yang mereka cintai, dan mengembangkan kreativitas mereka. Lalu, bagaimana kita menyeimbangkan keduanya, terutama ketika teknologi seperti AI berkembang begitu pesat?
Pertama, mari kita ubah cara pandang kita. Alih-alih melihat AI hanya sebagai ancaman, mari kita lihat sebagai alat. Di rumah kami, kami melihat AI sebagai ‘teman petualangan’ baru. Misalnya, ketika putri saya (yang saat ini sedang asyik-asyiknya dengan dunia warna dan gambar) bertanya tentang sesuatu, kami bisa mencoba mencari informasi atau bahkan visualisasi yang menarik menggunakan alat AI. Tentu saja, dengan pengawasan ketat dan batasan waktu yang jelas. Tujuannya bukan untuk menggantikan kreativitasnya, tapi untuk memperkaya imajinasinya dan mengajarkannya cara menggunakan teknologi secara cerdas.
Kita bisa mulai dengan mengajarkan literasi AI sejak dini. Bukan dalam arti teknis yang rumit, tetapi pemahaman dasar tentang bagaimana AI bekerja, apa saja kemampuannya, dan yang terpenting, bagaimana membedakan antara karya yang dibuat manusia dan AI. Ini seperti mengajarkan mereka untuk selalu kritis terhadap informasi yang mereka temukan di internet. Kita bisa melakukannya dengan cara yang menyenangkan, misalnya melalui permainan tebak gambar: mana yang dibuat oleh tangan manusia, mana yang oleh AI. Ini membantu mereka mengembangkan mata yang tajam dan pemikiran kritis, serta memahami nilai keunikan karya manusia.
Penting juga untuk menekankan nilai-nilai yang tidak bisa digantikan oleh mesin: empati, kreativitas yang orisinal, kemampuan bernalar secara mendalam, dan koneksi antarmanusia.
Di rumah, kami selalu berusaha menciptakan ruang di mana putri kami bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Kami memberinya waktu untuk bermain tanpa struktur, bereksperimen dengan berbagai media seni, dan belajar dari kesalahan. Kami percaya bahwa di tengah gempuran AI, keterampilan ‘lunak’ seperti ini justru akan semakin berharga. Kemampuan untuk berkolaborasi, berkomunikasi dengan baik, dan beradaptasi, adalah kunci untuk masa depan.
Dan jangan lupa, kita bisa menggunakan AI sebagai alat bantu untuk pekerjaan rumah tangga atau perencanaan keluarga, agar kita punya lebih banyak waktu berkualitas bersama anak-anak. Misalnya, merencanakan kegiatan akhir pekan atau mencari ide resep masakan. Ini bukan berarti AI mengambil alih peran kita, tetapi justru membebaskan kita dari tugas-tugas repetitif, sehingga kita bisa lebih hadir dan fokus pada momen-momen berharga bersama keluarga.
Tantangan ini memang nyata, dan kekhawatiran para seniman sangat beralasan. Namun, sebagai orang tua, tugas kita adalah membekali anak-anak kita dengan kemampuan beradaptasi, pemikiran kritis, dan semangat untuk terus belajar. Dengan menggabungkan kecerdasan manusia dengan alat bantu seperti AI secara bijak, kita bisa membantu mereka menavigasi masa depan yang penuh dengan kemungkinan tak terduga, sambil tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keunikan setiap individu. Tips mengajarkan AI pada anak ini bisa menjadi panduan praktis bagi keluarga.
Pertanyaan yang Sering Muncul tentang AI dan Seni
Q: Anak saya suka menggambar. Apakah saya harus khawatir AI akan mengambil alih mimpinya?
A: Kekhawatiran Anda sangat bisa dimengerti! Namun, ingatlah bahwa kreativitas manusia itu unik. AI bisa meniru gaya, tetapi sentuhan emosi, pengalaman hidup, dan imajinasi murni dari seorang seniman adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan. Dorong anak Anda untuk terus berkarya, berikan apresiasi yang tulus, dan ajarkan mereka untuk melihat AI sebagai alat bantu. Misalnya, mereka bisa menggunakan AI untuk mencari inspirasi atau bahkan menciptakan latar belakang untuk cerita bergambar mereka sendiri. Yang terpenting adalah semangat mereka untuk terus belajar dan berkreasi!
Q: Bagaimana cara mengenalkan AI kepada anak saya tanpa membuatnya takut atau terlalu bergantung?
A: Mulailah dengan cara yang sederhana dan menyenangkan! Gunakan AI untuk hal-hal yang positif dan mendidik. Misalnya, saat merencanakan liburan keluarga, Anda bisa mengajak anak Anda menggunakan AI untuk mencari tahu tentang tempat wisata yang menarik atau membuat daftar persiapan. Tekankan bahwa AI adalah alat, sama seperti pensil warna atau komputer, yang bisa membantu kita melakukan banyak hal. Ajarkan juga batasan penggunaannya, dan selalu prioritaskan interaksi nyata dan pengalaman langsung. Pastikan dia tahu bahwa kebahagiaan sejati datang dari koneksi dengan orang lain dan kegiatan di dunia nyata.
Q: Apakah ada cara agar karya anak saya tetap dihargai di era AI?
A: Tentu saja! Karya yang dibuat dengan tangan manusia memiliki jiwa dan cerita di baliknya. Ini adalah nilai yang tak ternilai. Hargai setiap usaha dan proses kreatif anak Anda. Ajarkan dia tentang pentingnya orisinalitas dan hak cipta. Anda bisa membuat semacam ‘galeri keluarga’ di rumah untuk memamerkan karya-karyanya, atau bahkan mencoba mendokumentasikannya dengan baik. Ketika anak Anda tumbuh dan mulai berkarya secara profesional, pemahaman tentang etika dalam penggunaan AI dan keunikan karyanya akan menjadi aset berharga. Fokus pada pengembangan ide-ide orisinal dan personalisasi yang mendalam, karena itulah yang akan membedakannya.
Source: Artists are losing work, wages, and hope as bosses and clients embrace AI, Blood In The Machine, 2025-09-19.
