
Wah, hari ini cuaca agak mendung ya, persis seperti perasaan sebagian dari kita saat mendengar kata ‘AI’, terutama kalau membayangkannya untuk anak-anak kita.
Rasanya ada sedikit kekhawatiran, sedikit ketidakpastian.
Berita ini langsung ke intinya: kunci sukses mengadopsi teknologi baru seperti AI, bahkan dalam dunia kerja yang sangat kompetitif, ternyata bukan hanya soal kecanggihan alatnya, tapi lebih kepada bagaimana kita menciptakan rasa ‘aman secara psikologis’ di sekitarnya.
Ini bukan cuma soal tim di kantor, lho, ini juga sangat relevan untuk kita, para orang tua yang sedang menavigasi masa depan digital bersama buah hati.
Bayangkan saja, saat kita diminta mencoba sesuatu yang baru yang bahkan bisa mengubah cara kita bekerja, wajar saja kalau muncul rasa takut, kan?
Terutama kalau kita merasa itu bisa menggeser peran kita.
Nah, poin pentingnya adalah, perasaan aman inilah yang membuat kita berani mencoba, berani salah, dan akhirnya belajar dengan lebih cepat.
Dan bukankah ini persis yang kita inginkan untuk anak-anak kita saat mereka belajar tentang dunia di sekeliling mereka, termasuk teknologi canggih ini?
Apa Itu Keamanan Psikologis untuk Eksplorasi AI Keluarga?

Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana anak-anak kita, di usia mereka yang penuh rasa ingin tahu, begitu berani mencoba hal baru?
Saat mereka pertama kali belajar naik sepeda, atau mencoba melukis dengan warna yang belum pernah mereka campur sebelumnya?
Ada sedikit keraguan, tapi dorongan untuk mencoba dan mengeksplorasi jauh lebih besar.
Mereka tahu, kalaupun jatuh, kita ada di sana untuk memeluknya, bukan menghakiminya.
Nah, konsep ‘keamanan psikologis’ ini mirip sekali!
Ini adalah keyakinan bahwa aman untuk mengambil risiko interpersonal – artinya, aman untuk bertanya hal bodoh, aman untuk membuat kesalahan kecil, dan aman untuk menyuarakan ide, tanpa takut dihukum atau dipermalukan.
Penelitian terbaru yang membahas bagaimana AI diadopsi di tempat kerja menyoroti hal ini dengan sangat jelas.
Ketika orang diminta untuk menggunakan alat AI yang mungkin terlihat rumit atau bahkan mengancam pekerjaan mereka, muncul ‘rasa terancam’.
Otak kita secara naluriah menjadi defensif.
Tapi di sisi lain, tim yang memiliki rasa aman yang tinggi justru melakukan lebih banyak eksperimen!
Tanpa rasa aman, tidak ada eksperimen; tanpa eksperimen, tidak ada pembelajaran.
Dalam konteks AI, setiap eksperimen adalah pembelajaran.
Semakin banyak kita bereksperimen, semakin cepat kita belajar, dan semakin cepat kita beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang ini.
Sungguh luar biasa, kan?
Bagaimana ini berlaku untuk kita?
Mari kita pikirkan saat anak kita penasaran dengan aplikasi edukatif baru di tablet.
Jika respons kita adalah kekhawatiran berlebihan tentang waktu layar atau ketakutan bahwa mereka akan kehilangan sentuhan ‘dunia nyata’, kita mungkin tanpa sadar menciptakan sedikit rasa ‘ancaman’.
Padahal, dengan pendekatan yang tepat, AI bisa menjadi alat yang luar biasa untuk pembelajaran mereka.
Kuncinya adalah menciptakan lingkungan di mana rasa ingin tahu disambut baik, kesalahan dilihat sebagai peluang belajar, dan setiap pertanyaan, sekecil apapun, dihargai.
Ini adalah fondasi utama bagi mereka untuk berani melangkah lebih jauh dalam memahami dan menggunakan teknologi seperti AI, bukan sebagai sesuatu yang menakutkan, tapi sebagai teman petualangan yang hebat!
Bagaimana Mengubah Kekhawatiran AI Menjadi Keberanian untuk Keluarga?

Saya sering teringat saat anak saya yang masih kecil, di usianya yang sedang giat-giatnya bertanya ‘kenapa’ tentang segala hal, pernah mencoba menggabungkan cat warna merah dengan biru dan terkejut melihat hasilnya jadi ungu!
Awalnya dia sedikit kaget, mungkin sedikit keceva karena tidak sesuai bayangannya.
Tapi ketika saya antusias mengomentari, “Wow, lihat! Kamu menemukan warna baru yang indah! Ini namanya ungu!”, wajahnya langsung berseri-seri.
Perasaan aman untuk bereksperimen dan penekanan pada pembelajaran dari hasil yang ‘tidak terduga’ itulah yang penting.
Berita yang saya baca menekankan empat praktik berbasis neurosains untuk mengubah ketakutan menjadi kecepatan inovasi.
Bayangkan ini diterapkan pada keluarga kita!
Bagaimana kita bisa memastikan anak-anak kita tidak hanya menggunakan teknologi AI, tetapi benar-benar memahaminya dan merasa nyaman dengannya?
Ini tentang membangun kepercayaan.
Kepercayaan bahwa teknologi AI itu ada untuk membantu, bukan menggantikan keajaiban kreativitas dan kecerdasan mereka.
Kepercayaan bahwa kita sebagai orang tua akan membimbing mereka, memastikan penggunaan yang sehat dan bertanggung jawab.
Ada dua jenis kecemasan yang dibahas dalam penelitian terkait adopsi AI: kecemasan antisipatif (takut akan gangguan masa depan) dan kekhawatiran kehilangan identitas sebagai manusia.
Ini memang terdengar berat, tapi jika kita pecah menjadi hal-hal yang lebih kecil dan bisa dikelola dalam konteks keluarga, ini menjadi lebih mudah.
Misalnya, saat anak kita penasaran dengan chatbot AI yang bisa bercerita, kita bisa membicarakannya.
Bukan hanya ‘ini alat’, tapi ‘ini program komputer yang dilatih untuk merespons kata-kata, sama seperti kita belajar merespons pembicaraan!’
Kita bisa bertanya, ‘Menurutmu, apa yang membuat chatbot ini bisa menjawab?’, lalu sama-sama mencari tahu.
Ini adalah cara yang sangat cerdas untuk menanamkan literasi AI sejak dini, tanpa rasa terintimidasi.
4 Langkah Praktis Menuju Keluarga yang Berani Eksplorasi AI

Jadi, bagaimana kita bisa menumbuhkan keamanan psikologis ini di rumah, terutama ketika anak kita berada di usia di mana mereka mulai aktif berinteraksi dengan berbagai bentuk teknologi, termasuk yang berbasis AI?
Ini tentang membangun budaya terbuka, seperti saat kita duduk bersama di meja makan, berbagi cerita tentang hari kita – baik dan buruk.
Pertama, dorong rasa ingin tahu tanpa penghakiman.
Ketika anak bertanya tentang sesuatu yang berhubungan dengan AI (misalnya, aplikasi yang bisa menggambar, atau asisten suara di rumah), respon kita harus positif dan mengundang.
Daripada langsung melarang atau khawatir, kita bisa berkata, “Wah, menarik sekali kamu bertanya itu! Mau kita cari tahu sama-sama bagaimana caranya?”
Atau, “Keren ya, teknologi ini bisa melakukan itu! Kalau kamu penasaran, nanti kita coba lihat video penjelasannya bersama.”
Ini bukan tentang membiarkan mereka bebas tanpa batas, tapi tentang membimbing rasa penasaran mereka dengan aman.
Kedua, jadikan kesalahan sebagai peluang belajar.
Ingat anak saya yang mencampur warna?
Kita bisa melakukan hal yang sama dengan teknologi.
Jika anak mencoba sesuatu dengan AI dan hasilnya tidak sesuai harapan, kita bisa merangkulnya.
“Oops, sepertinya belum pas ya? Coba kita lihat lagi langkahnya. Mungkin ada yang terlewat?”
Ini membangun ketahanan dan pemahaman bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses belajar.
Ini sangat penting agar mereka tidak takut mencoba lagi.
Ketiga, komunikasi terbuka tentang manfaat dan tantangan.
Sangat penting untuk berbicara jujur tentang bagaimana AI bekerja, apa saja kelebihannya, dan juga batasan serta potensi risikonya (seperti privasi data, atau informasi yang tidak akurat).
Anak-anak, tergantung usianya, bisa memahami konsep-konsep ini jika dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan relevan.
Misalnya, membandingkan AI dengan ‘otak super’ yang dilatih dengan banyak data, tapi tidak punya perasaan seperti kita.
Diskusi seperti ini menanamkan pemikiran kritis dan membangun kepercayaan.
Keempat, contohkan perilaku yang diinginkan.
Jika kita sendiri menunjukkan ketakutan atau resistensi terhadap teknologi baru, anak-anak akan menangkapnya.
Sebaliknya, jika kita menunjukkan antusiasme yang terukur, keingintahuan, dan kesediaan untuk belajar (bahkan jika kita juga perlu mencari bantuan!), mereka akan melihat bahwa beradaptasi dan berkembang adalah hal yang positif.
Mungkin kita bisa sama-sama mencoba aplikasi edukatif berbasis AI untuk belajar bahasa baru, atau aplikasi berbasis AI yang bisa membantu merencanakan kegiatan keluarga yang menyenangkan.
Pengalaman bersama ini akan sangat memperkuat rasa aman dan kolaborasi.
Menyambut Masa Depan AI dengan Optimisme dan Kepercayaan untuk Keluarga Indonesia

Melihat berita tentang ‘keamanan psikologis’ sebagai kunci adopsi AI ini benar-benar membuka mata saya.
Rasanya seperti menemukan peta harta karun untuk menavigasi masa depan digital bersama keluarga.
Ini bukan hanya tentang menyiapkan anak-anak kita untuk dunia kerja masa depan yang mungkin sangat berbeda, tapi lebih dari itu, ini tentang membekali mereka dengan sikap mental yang positif: keberanian untuk menjelajah, ketahanan untuk bangkit dari kegagalan, dan kebijaksanaan untuk menggunakan teknologi secara bijak.
Mungkin terasa seperti tantangan, tapi ingatlah, kita tidak sendirian dalam hal ini.
Kita adalah tim, keluarga kita.
Dan seperti halnya perjalanan panjang yang menyenangkan, kita akan saling mendukung, belajar bersama, dan menemukan hal-hal baru yang luar biasa di sepanjang jalan.
AI tidak akan menunggu, tapi dengan fondasi keamanan dan kepercayaan yang kita bangun di rumah, kita bisa memastikan anak-anak kita tidak hanya siap, tapi juga bersemangat menyambut apa pun yang ada di depan.
Mari kita jadikan proses belajar ini penuh kegembiraan dan penemuan!
Sumber: Psychological Safety Drives AI Adoption, Psychology Today, 22 September 2025
