
Aku masih ingat sore itu—cahaya senja menyelinap melalui jendela, menerangi wajah kecilnya yang bersemangat. Dia duduk di sampingmu, jari-jari mungilnya dengan percaya diri menggeser layar tablet, meminta sesuatu pada suara yang tak terlihat. ‘Lihat, Ayah! Aku bisa tanya apa saja!’ matanya berbinar. Dan kamu, duduk di sampingnya, dengan sabar mengamati, sesekali membelai rambutnya, sesekali bertanya lembut. Bukan tentang bagaimana caranya bekerja—tapi tentang apa yang dia tanyakan, dan mengapa. Di detik itu, aku melihat lebih dari sekadar seorang ibu yang mengawasi anaknya bermain. Aku melihat seorang navigator yang lembut, membimbing kapal kecil kami melalui lautan digital yang tak bertepi.
Kekuatan yang Kulihat dalam Dirimu
Ada sesuatu yang sangat mengagumkan dalam caramu menghadapi semua ini. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan, meeting yang tak berujung, dan tumpukan pekerjaan rumah, kamu masih menemukan ruang untuk duduk dan benar-benar memahami dunia yang mereka tinggali. Bukan cuma sekadar melarang atau membatasi, lho, tapi benar-benar memahami.
Aku melihat caramu mempelajari aplikasi yang mereka gunakan, bertanya pada guru-guru mereka tentang platform belajar daring, bahkan kadang kau datang padaku dengan pertanyaan-pertanyaan teknis yang membuatku tersenyum.
Itulah kekuatanmu yang sesungguhnya—bukan dalam menguasai teknologi, tapi dalam menguasai seni menjadi jembatan antara dunia mereka dan dunia kita.
Batas-batas yang Kau Tentukan dengan Kasih

Aku tahu betapa beratnya kadang-kadang. Saat mereka merengek minta ‘lima menit lagi’ sementara mata sudah mengantuk, atau saat mereka protes karena teman-temannya boleh bermain lebih lama. Tapi aku melihat caramu meneguhkan batas-batas itu dengan lembut namun teguh. Bukan dengan marah atau ancaman, tapi dengan penjelasan yang membuat mereka mengerti.
‘Kita harus jaga mata kita, sayang,’ katamu suatu malam pada si sulung yang merajuk. ‘Bukan karena Ibu tidak percaya, tapi karena Ibu sayang.’ Dan aku melihat bagaimana dia akhirnya mengangguk, mungkin tidak sepenuhnya paham, tapi merasa dikasihi.
Belajar Bersama dalam Kegelapan

Kadang aku terbangun di malam hari dan menemukanmu masih terbangun, membaca tentang privasi data atau dampak screen time pada perkembangan anak. Dalam cahaya redup ponselmu, wajahmu tampak serius—seorang murid yang tak kenal lelah untuk menjadi guru yang lebih baik bagi mereka.
‘Aku baca artikel ini,’ katamu padaku pagi berikutnya sambil menyiapkan sarapan. ‘Kita perlu bicara tentang bagaimana AI ini menyimpan data percakapan mereka.’ Dan kita pun duduk, dua orang tua yang merasa seperti sedang belajar berjalan kembali, mencoba memahami dunia yang bahkan tidak kita kenal saat kita seusia mereka.
Menemukan Kembali Dunia Nyata Bersama

Yang paling kusukai adalah caramu menggunakan teknologi justru untuk membawa mereka keluar dari layar. ‘Lihat, aplikasi ini bisa mengenali jenis burung!’ katamu suatu akhir pekan, dan tiba-tiba kita semua berjalan ke taman, tablet di tangan, bukan sebagai musuh tapi sebagai teman petualangan.
Aku melihat cahaya dalam matamu saat mereka berlari-lari, bersemangat menunjukkan padamu burung yang berhasil mereka identifikasi. Di saat-saat seperti itu, aku tahu kita berhasil—kita tidak melawan kemajuan, tapi menjadikannya bagian dari cerita keluarga kita.
Bersyukur untuk Setiap Langkah Kecil

Malam ini, setelah mereka tertidur dengan lelap, aku duduk di sini memikirkan semua ini. Tentang bagaimana kita, dua orang biasa dengan segala kekurangan dan kebingungan kita, mencoba membesarkan manusia-manusia kecil untuk dunia yang bahkan tidak bisa kita bayangkan.
Dan yang membuatku paling bersyukur adalah memiliki kamu sebagai partner dalam perjalanan ini. Cara kamu tidak takut untuk mengatakan ‘Ibu tidak tahu, mari kita cari tahu bersama.’ Cara kita lebih peduli pada karakter mereka daripada kecanggihan teknologi mereka.
Kita mungkin tidak selalu tahu jawabannya, tapi kita selalu punya satu sama lain untuk mencari jawaban itu bersama. Dan itu, bagiku, adalah teknologi paling canggih yang pernah ada—koneksi kita, saling percaya, dan komitmen untuk belajar bersama. Itulah yang benar-benar akan membekali mereka.
Aku baca dari para ahli di Wharton Executive Education dalam Operationalize AI Accountability: A Leadership Playbook (2025), bahwa kemanusiaan dan kolaborasi seperti inilah yang menjadi pondasi masa depan anak-anak kita. Dan dengan bekal itu, percayalah, dunia digital mana pun yang mereka hadapi nanti, mereka akan siap—karena yang mereka bawa bukan gadget tercanggih, tapi hati yang paling siap.
