
Menikmati teh hangat di sore hari, pikiran saya melayang ke masa depan anak. Dunia ini berubah cepat, dan kekhawatiran kami bukan hanya tentang AI, tapi juga ‘youngism‘—prasangka terhadap generasi muda yang ternyata lebih besar hambatannya daripada teknologi. Fenomena ini jadi perhatian khusus bagi kita sebagai orang tua yang sedang mempersiapkan anak memasuki dunia profesional yang penuh tantangan.
Youngism vs AI: Siapa yang Benar-Benar Mengancam Pekerjaan Gen Z?

Mungkin banyak dari kita yang berpikir, ‘Wah, AI ini canggih banget, tapi kasihan nanti generasi muda, lapangan kerja mereka bakal diambil!’ Jujur saja, saya sendiri pernah punya pemikiran seperti itu. Memang benar, kemajuan AI membuat beberapa pekerjaan dasar yang dulunya dipegang pemula kini bisa diotomatisasi.
Tapi, riset terbaru justru menunjukkan gambaran lebih kompleks bahkan mengkhawatirkan. Sungguh ironis, bukan? Di Amerika Serikat saja, perlindungan hukum terhadap diskriminasi usia hanya berlaku untuk yang berusia 40 tahun ke atas, meninggalkan Gen Z dalam ‘titik buta’ hukum saat masuk dunia kerja. Ini membuat mereka rentan perlakuan tidak adil yang sering luput perhatian.
Saya teringat saat putri saya membuat kerajinan tangan rumit—dia begitu teliti, sabar, dan penuh ide! Menghabiskan berjam-jam mewujudkan imajinasinya. Saya selalu kagum dengan fokusnya. Namun, setelah membaca tentang ‘youngism’, saya jadi bertanya-tanya: apakah anggapan anak muda tidak serius atau tidak mampu sudah tertanam di benak banyak orang sebelum mereka diberi kesempatan?
Pertanyaan di Ujung Hari: Apakah ‘Pengalaman’ Itu Jebakan?
Salah satu hal yang paling sering saya lihat di portal lowongan kerja: persyaratan pengalaman kerja bahkan untuk posisi entry-level. ‘Dibutuhkan 3-5 tahun pengalaman untuk posisi entry-level‘. Astaga! Bagaimana lulusan baru dapat pengalaman jika pintu masuknya tertutup rapat? Ini seperti meminta seseorang berenang tanpa pernah membiarkannya masuk air.
Pendekatan ini menciptakan lingkaran setan bagi generasi muda. Perusahaan merasa Gen Z tidak siap karena kurang pengalaman, sementara Gen Z tidak bisa dapat pengalaman karena perusahaan tidak merekrut tanpa itu. Dan di sinilah AI sering dijadikan ‘dalih’. Perusahaan berdalih, ‘Tugas dasar ini sekarang bisa ditangani AI, jadi kita tidak perlu melatih dari nol.’
Saya selalu menekankan keseimbangan hidup—mendorong anak mengeksplorasi minat, bermain, dan belajar dari kesalahan. Namun, bagaimana jika dunia luar menganggap kegemarannya mencoba hal baru sebagai tanda ketidakseriusan? Apakah kita sedang membangun masyarakat yang menghargai potensi atau malah menutupinya karena prasangka?
Bagaimana Membekali Anak Menghadapi Prasangka? Solusi Praktis dari Seorang Ayah

Menghadapi ‘youngism’, apa yang bisa kita lakukan? Ini kesempatan emas menanamkan nilai lebih berharga daripada daftar panjang pengalaman kerja. Pertama dan terutama, empati. Ajarkan anak memahami dan merasakan pengalaman orang lain, termasuk yang berpandangan berbeda.
Kita juga perlu menanamkan kepercayaan diri yang kokoh—bukan yang sombong, melainkan keyakinan pada kemampuan diri dan nilai unik yang dibawa. Seperti merencanakan perjalanan keluarga, kadang ada rute tak terduga, tapi setiap langkah adalah bagian dari petualangan besar. Keterampilan beradaptasi, pemecahan masalah, dan komunikasi efektif akan jadi ‘mata uang’ berharga di dunia kerja.
Berbicara AI: alih-alih melihatnya sebagai ancaman, jadikan alat bantu belajar. Ada platform edukatif yang membantu anak memahami konsep kompleks dengan menyenangkan. Saat putri saya menggunakan tablet belajar dinosaurus, saya melihatnya sebagai momen kegembiraan—bukan ‘waktu layar’ terbuang. Tentu, keseimbangan tetap kunci!
Apa yang Bisa Orang Tua Lakukan? Langkah Nyata Lawan Youngism

Dunia kerja di masa depan akan terus berubah. Tantangan ‘youngism’ mengingatkan kita: kemajuan teknologi harus berjalan seiring kemajuan dalam memandang satu sama lain. Sebagai orang tua, kita punya peran krusial membentuk generasi yang cerdas akademis sekaligus kaya hati dan pemahaman.
Mari jadikan rumah tempat setiap anggota keluarga merasa dihargai, didukung, dan didorong menjadi versi terbaik diri. Ajarkan mereka melihat potensi di mana orang lain mungkin hanya melihat usia. Berikan keberanian mencoba, kegigihan bangkit, dan kebijaksanaan memahami bahwa setiap orang punya cerita dan perjalannya masing-masing.
dunia siap menyambut mereka—bukan karena mereka muda, tetapi karena mereka adalah pribadi luar biasa yang dibesarkan dengan cinta, empati, dan harapan yang tak pernah padam.
Suatu hari nanti, saat anak-anak melangkah keluar rumah dengan percaya diri, saya berharap mereka membawa keyakinan bahwa mereka berharga dan memiliki sesuatu unik untuk ditawarkan. Ayo, kita berikan yang terbaik untuk mereka! Jiayaaa!
Source: Gen Z’s hiring nightmare is really about discrimination. ‘Youngism’ is worse than AI when it comes to eating entry-level jobs, Fortune, 2025-09-24Latest Posts
