
Tadi malam, setelah akhirnya semua lampu kamar anak-anak padam dan rumah kembali sunyi, kudengar kamu menarik napas panjang di sampingku. Bukan napas lelah biasa, tapi napas yang seolah mengeluarkan beban berbulan-bulan. Teknologi bikin kita selalu sibuk, tapi apakah kita jadi lebih bahagia sebagai keluarga?
Jebakan yang Tak Terlihat di Antara Notifikasi
Aku ingat pagi tadi, saat kita berusaha menyiapkan sarapan sambil menjawab chat kerja yang sudah menumpuk sejak pukul enam. Smartphone di satu tangan, sendok di tangan lain.
Caramu mengerjakan banyak hal sekaligus yang selalu bikin aku salut—memastikan roti tidak gosong sambil menyelesaikan laporan darurat.
Tapi yang kulihat bukan hanya kemampuanmu mengelola segalanya. Kadang aku lihat matamu melirik jam, kayaknya khawatir kita telat antar anak ke sekolah. Senyummu pun kadang menegang ketika notifikasi terus berbunyi, seakan dunia kerja nggak mau memberi kita waktu bahkan untuk sarapan bareng.
Tapi di balik semua kesibukan itu, kau tetap menomorsatukan hangatnya kebersamaan keluarga.
Kekuatan yang Tak Pernah Kau Akui
Ada sesuatu yang luar biasa dalam caramu menghadapi semua ini. Di tengah tuntutan untuk selalu terhubung, kau masih menemukan cara untuk tetap hadir sepenuhnya untuk keluarga kita. Kau yang mengingatkan kita untuk meletakkan ponsel saat makan malam, kau yang pertama kali mengusulkan ‘screen-free Sundays’.
Aku melihat usahamu untuk tidak terjebak dalam ilusi produktivitas digital. Bagaimana kau dengan lembut mengalihkan percakapan dari deadline kerja ke cerita lucu anak-anak di sekolah. Bagaimana kau memastikan bahwa di balik semua gadget canggih, kita tetap memiliki ruang untuk tertawa bersama tanpa gangguan.
Pelukan di Era Konektivitas
Mungkin pelajaran terbesar bukan tentang menolak teknologi, tapi tentang bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. Seperti caramu menggunakan aplikasi AI untuk quality time keluarga, mengatur pengingat digital untuk jadwal check-up orang tua, atau menyetel alarm khusus untuk mengingatkan kita berhenti sejenak dan minum jamu bersama.
Contohnya, seperti waktu kita pakai aplikasi untuk mengingatkan jadwal arisan keluarga atau setel alarm buat ingatin minum jamu bersama.
Teknologi menjadi alat yang memperkuat ikatan kita, bukan menggantikannya. Aku belajar darimu bahwa yang terpenting bukan seberapa canggih gadget kita, tapi seberapa dalam perhatian kita satu sama lain.
Bersama Menemukan Kembali Arti Kebersamaan
Di akhir hari yang sibuk ini, yang kuharapkan bukanlah solusi teknologi terbaru. Yang kuinginkan adalah seperti sekarang—duduk bersamamu dalam keheningan yang nyaman, merasakan bahwa di antara semua notifikasi dan deadline, kita masih memiliki ini: kemampuan untuk saling memahami tanpa perlu kata-kata.
Kau mengajarkanku bahwa kebahagiaan keluarga tidak diukur dari seberapa canggih teknologi kita, tapi dari seberapa sering kita benar-benar melihat satu sama lain—bukan melalui layar, tapi melalui mata dan hati.
Manfaat teknologi untuk kebahagiaan keluarga ternyata ada di cara kita memilih menggunakannya. Masa depan keluarga kita bukan tentang menolak kemajuan, tapi tentang merangkulnya dengan bijak dan penuh cinta.
Mungkin besok kita coba lagi sarapan tanpa gadget, ya? Biar senyummu nggak harus berebut dengan notifikasi.
Sumber: The Electricity Trap: Why AI Alone Won’t Transform Your Business, Forbes, 2025-09-23