
Pernah dengar cerita anak yang tiba-tiba bisa masak mirip banget dengan masakan kita? Ternyata lihat tutorial di YouTube. Atau ketika mereka lebih percaya jawaban ChatGPT daripada penjelasan kita sendiri. Sebagai orang tua, rasanya campur aduk ya? Bangga lihat mereka melek teknologi, tapi juga khawatir—apakah mereka paham etika di balik semua kemudahan ini? Seperti ketika kita mengajarkan ‘jangan nyontek’ di sekolah, sekarang tantangannya lebih kompleks.
Anak Curhat ke AI? Itu Sinyal untuk Kita
Anak-anak sekarang memang lebih sering curhat ke AI daripada ke orang tua. Kenapa ya bisa begitu? Mungkin karena AI selalu ada, tidak menghakimi, dan memberikan jawaban instan. Tapi di balik itu, ada pelajaran penting: bagaimana kita menjadikan teknologi sebagai teman belajar, bukan pengganti peran kita. Seperti ketika kita duduk bersama mereka, membahas tugas sekolah—AI bisa membantu mencari informasi, tapi nilai kejujuran tetap harus datang dari kita.
Bayangkan saat mereka bertanya, ‘Boleh nggak sih pakai AI untuk ngerjain PR?’ Di sinilah momen berharga untuk mengajarkan tentang batasan. Seperti meminjam mainan teman—harus bilang dulu, dan tahu kapan harus mengembalikan.
Tips Sederhana Ajarkan Nilai Kejujuran di Era Digital
Bagaimana cara agar anak tidak tergoda menyontek dengan AI untuk tugas sekolah? Mulai dari hal kecil. Ajak mereka diskusi tentang sumber informasi—seperti ketika kita memasak bersama dan memberi tahu resep aslinya dari mana. ‘Ini ide dari YouTube, tapi kita modifikasi sesuai selera keluarga.’
Atau saat menggunakan aplikasi AI untuk belajar, selalu ingatkan: ‘Teknologi ini membantu, tapi pemikiranmu yang paling berharga.’ Dengan begitu, anak belajar menghargai proses dan karya orang lain, tanpa kehilangan kreativitasnya sendiri.
AI Bikin Malas Berpikir? Justru Jadi Peluang
Kadang aku khawatir AI bikin anak jadi malas berpikir sendiri. Tapi lihat sisi lainnya—teknologi bisa membuka diskusi tentang etika. Seperti cerita AI yang pakai data tanpa izin, mirip anak pinjam mainan tanpa bilang. Kita bisa ajarkan: ‘Kalau mau pakai, harus menghargai sumbernya.’
Dengan pendekatan ini, AI bukan ancaman, tapi alat untuk mengajarkan nilai-nilai keluarga.
Seperti teman belajar yang perlu diarahkan, bukan dijauhi.
Membangun Interaksi yang Seimbang
Screen time memang sering bikin pusing ya, tapi ingat, teknologi nggak harus menggerus nilai-nilai kita. Justru ini kesempatan emas untuk memperkuat nilai-nilai keluarga sekaligus kebersamaan! Ajak anak berdiskusi tentang bagaimana AI bekerja—dan mengapa kejujuran penting, baik di dunia nyata maupun digital.
Seperti ketika kita melihat mereka ‘niru’ sesuatu tanpa sadar, itu momen untuk mengajarkan tentang apresiasi. ‘Karya orang lain itu berharga, jadi harus dihargai.’ Dengan begitu, anak tumbuh dengan pemahaman yang lebih dalam tentang keadilan dan etika.
Di akhir hari, yang terpenting adalah kita tetap hadir sebagai pendamping—bukan hanya mengawasi, tapi juga memahami dunia mereka. Karena nilai-nilai yang kita tanam hari ini, akan membentuk cara mereka menggunakan teknologi besok.
Sumber: Headnote Wars in the AI Space: Thomson Reuters (Westlaw) v. ROSS AI, Patentlyo, 2025-09-23