Pernah nggak sih, kamu juga merasakan hal yang sama? Melihat anak-anak bermain dengan asyiknya bersama asisten virtual atau aplikasi edukasi berbasis AI? Aku sering memperhatikan itu, sambil duduk di sampingmu yang kadang masih ragu-ragu. Matanya yang berbinar-binar, pertanyaan yang terus mengalir—seperti komputer kecil yang sedang aktif belajar. Tapi di balik semua teknologi itu, yang tetap membuatku kagum adalah bagaimana kau tetap menjadi guru pertama mereka, yang tak tergantikan oleh mesin mana pun.
Dunia Mereka Kini Penuh AI: Khawatir atau Harus Bersahabat?
Aku ingat pagi tadi, ketika si kecil bertanya pada smart speaker tentang mengapa hujan turun. Suara kecilnya penuh rasa ingin tahu, dan jawaban yang datang pun langsung memuaskan. Tapi kemudian kau datang, duduk di sampingnya, dan bertanya lagi: ‘Menurutmu kenapa awan bisa menangis?’ Dan percakapan itu berlanjut dengan tawa dan imajinasi.
Di situlah letak peran kita—bukan melarang, tapi menemani. Bukan menghindari AI, tapi menjadikannya alat untuk memperkaya percakapan kita dengan anak.
Setiap ‘Mengapa’ adalah Pintu Menuju Pemahaman yang Lebih Dalam
Kadang aku melihatmu lelah menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang. Tapi selalu kau lakukan dengan sabar, karena tahu itu penting. Sekarang dengan bantuan AI, sebagian pertanyaan bisa terjawab dengan cepat.
Tapi kau tetap tak tergantikan—karena hanya kau yang bisa memberikan pelukan saat jawaban itu membuatnya bingung, hanya kau yang bisa menambahkan cerita dari pengalaman hidup, bukan sekadar data dari internet.
Jaga Otak Mereka Tetap Aktif, Bukan Sekedar Konsumen Pasif
Aku perhatikan bagaimana kau selalu mengajak mereka berdiskusi setelah bermain dengan aplikasi edukasi. ‘Menurutmu benar nggak jawaban tadi?’ atau ‘Coba ceritakan lagi dengan kata-katamu sendiri.’ Itu caramu menjaga agar otak mereka tetap kritis, tidak hanya menerima informasi begitu saja.
Di era banjir informasi ini, kemampuan menyaring dan berpikir kritis justru semakin penting—dan itu yang tak bisa sepenuhnya kita serahkan pada AI.
Kecerdasan Emosional: Area di Mana Manusia Tetap Tak Tertandingi
Pernah suatu sore, setelah seharian bermain dengan gadget, si kecil datang padamu dengan mata berkaca-kaca karena suatu game yang tak bisa diselesaikan. AI bisa memberikan solusi teknis, tapi hanya pelukanmu yang bisa menghapus air matanya.
Hanya nada suaramu yang bisa menenangkan. Itulah yang membuatku yakin—betapa pun canggihnya teknologi, peran kita sebagai orang tua dalam membangun empati dan kecerdasan emosional tetap tak tergantikan.
Bersama Menemukan Keseimbangan di Era Digital
Aku belajar darimu bahwa yang kita butuhkan bukanlah ketakutan akan teknologi, tapi kebijaksanaan dalam menggunakannya. Seperti pagi ini, ketika kau mengajak mereka bermain di taman setelah cukup lama bermain gadget.
Atau ketika kau membacakan buku cerita meski sudah ada audiobook yang bisa dibaca oleh AI. Itulah keseimbangan yang kita bangun bersama—memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa kehilangan kehangatan manusiawi yang membuat kita, ya, tetap manusia!
Sumber: Harvard’s BKC Explores Whether Human Intelligence And AI Computational Intelligence Are Actually The Same, Forbes, 2025-09-28