Melihat Mereka Bermain dengan Masa Depan

Ayah memandangi laptop di dapur malam hari saat anak tidur

Tadi malam, setelah suara riuh mereka tidur dan hanya lampu kecil di dapur yang masih menyala, aku melihatmu memandangi layar laptop. Matamu yang lelah masih mencoba memahami berita tentang bagaimana sekolah-sekolah mulai menggunakan aplikasi AI untuk anak usia dini. Aku tahu, lelahnya bukan cuma di mata tapi juga di hati. Aku tahu yang ada di pikiranmu—sama seperti yang ada di pikiranku. Pertanyaan yang sama yang mungkin dipertanyakan setiap orang tua di Indonesia saat ini: ‘Apakah kita mempersiapkan mereka dengan cukup untuk dunia yang akan datang?’

Kekhawatiran yang Kita Pikul Bersama

Ekspresi orang tua campur bangga dan khawatir saat anak pegang tablet

Ingat waktu kita pertama kali memberi mereka tablet? Aku masih bisa melihat ekspresi wajahmu—campuran antara bangga melihat mereka begitu cepat belajar, dan khawatir akan cara aman anak belajar dengan AI. Sekarang, dengan AI menjadi bagian dari kurikulum sekolah, kekhawatiran itu kembali hadir.

Tapi malam ini, sambil melihat caramu memperhatikan mereka bermain, aku menyadari sesuatu: mungkin justru kitalah yang perlu belajar melihat ini bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kesempatan.

Mereka tumbuh dalam dunia yang berbeda dengan dunia kita dulu. Tapi lihatlah bagaimana mereka dengan naturalnya beradaptasi—seperti melihat ikan berenang di air. Dan kita? Kita yang harus belajar berenang bersama mereka, mencari tips orang tua mengajari anak pakai AI yang tepat.

Pelukan di Tengah Perubahan

Ibu tersenyum bertanya pada anak tentang robot pintar di sekolah

Aku ingat minggu lalu, ketika si kecil datang dengan cerita tentang ‘robot pintar’ yang membantu gurunya mengajar. Matanya berbinar-binar, sementara aku melihat matamu yang penuh pertanyaan. Tapi kemudian kau mengambil napas dalam, tersenyum, dan bertanya padanya: ‘Ceritakan pada Ibu, robotnya bisa apa saja?’

Itulah kekuatanmu. Kemampuan untuk mengubah kekhawatiran menjadi keingintahuan. Untuk mengubah ketakutan menjadi peluang belajar bersama. Dalam momen-momen seperti itulah aku melihat manfaat AI untuk pendidikan anak sehari-hari—bukan dengan mengajarkan coding, tapi dengan mengajarkan keberanian untuk bertanya dan ingin tahu.

Membangun Jembatan antara Dua Dunia

Keluarga sebagai jembatan antara nilai tradisional dan dunia digital

Kadang rasanya kita seperti jembatan yang menghubungkan dua dunia berbeda. Kita yang mengenalkan nilai-nilai keluarga, sopan santun, dan empati—hal-hal yang mesin tidak akan pernah benar-benar pahami. Dan mereka? Mereka yang akan membawa kita memahami dunia digital dengan cara yang lebih alami.

Kita memberikan mereka akar, mereka memberikan kita sayap untuk terbang menuju masa depan dengan pemahaman yang lebih baik tentang etika penggunaan AI.

Harapan yang Kita Tanam Bersama

Orang tua minum teh sambil memandang anak bermain dengan gadget

Malam ini, sambil menikmati secangkir teh hangat yang kau buat, aku ingin katakan sesuatu: terima kasih. Terima kasih karena selalu mengingatkanku bahwa masa depan bukan sesuatu untuk ditakuti, tapi untuk ditata bersama. Bahwa yang terpenting bukanlah seberapa cepat mereka menguasai teknologi, tapi seberapa baik kita membekali mereka dengan kemanusiaan.

Mereka akan baik-baik saja. Karena mereka memiliki kita—orang tua yang tidak perfect, tapi selalu berusaha memahami. Yang kadang khawatir, tapi tidak pernah berhenti belajar. Yang mungkin tidak mengerti semua tentang AI, tapi mengerti semua tentang cinta.

Besok pagi, ketika kita melihat mereka lagi bermain dengan gadgetnya, mari kita lihat dengan mata yang berbeda. Bukan sebagai ancaman, tapi sebagai alat—sama seperti pensil dan kertas di zaman kita dulu. Hanya bentuknya yang berbeda, tapi tujuannya sama: untuk belajar, berkreasi, dan membangun masa depan.

Sumber: How AI could upskill and future-proof Kiwi secondary school students, Nzherald, 2025-09-27

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top