
Masih terngiang di telinga, malam itu kita duduk berdua setelah anak-anak tertidur. Kau memegang ponsel dengan ekspresi sedikit frustrasi. ‘Semuanya terasa… sama,’ katamu pelan. ‘Seperti membaca tulisan yang ditulis mesin.’ Aku mengerti. Di tengah lautan konten digital yang seharusnya memudahkan hidup, justru kita merasa semakin terasing.
Melihat Melampaui yang Tampak di Layar
Ada momen-momen tertentu ketika kau menunjukkan sebuah artikel atau video, dan matamu berkata, ‘Ini terasa tidak jujur.’ Kau bisa merasakannya—bahasanya terlalu sempurna, alurnya terlalu bisa ditebak, seperti dibuat untuk memenuhi algoritma, bukan untuk menyentuh hati.
Aku belajar dari kamu bahwa keautentikan itu punya ‘rasa’ tersendiri, lho—seperti kopi buatan tangan yang beda banget sama yang instan.
Kita sering tertawa bersama melihat resep AI yang menjanjikan masakan ‘sempurna’ tapi hasilnya jauh dari sentuhan ibu kita yang puluhan tahun memasak dengan cinta. Di situlah kita belajar: teknologi boleh canggih, tapi tidak ada yang bisa menggantikan sentuhan manusiawi.
Membangun Filter Hati Bersama
Aku perhatikan bagaimana kau mengajak anak-anak berdiskusi tentang video yang mereka tonton. ‘Apa yang membuat video ini spesial?’ tanyamu. Dan mendengar jawaban polos mereka—‘Karena orangnya terlihat senang beneran, Bunda!’—membuatku tersenyum.
Kau mengajarkan mereka mencari jiwa di balik konten, bukan hanya efek spesial atau jumlah penonton yang banyak.
Kita seperti tim detektif kecil yang berburu keautentikan di dunia digital. Dan yang paling berharga adalah saat kita menemukan konten yang membuat kita saling pandang dan berkata, ‘Nah, ini dia. Terasa dibuat dengan hati.’
Menjadi Pencipta Kenangan, Bukan Sekadar Penonton
Ingat ketika kita membuat video pendek tentang hari Minggu keluarga? Kamera goyang-goyang, suara tertawa yang tidak sempurna, bahkan adegan si kecil yang menangis karena es krimnya jatuh. Itu mungkin tidak akan viral, tapi itu adalah kenangan kita yang paling berharga.
Kau selalu bilang, ‘Yang penting autentik, bukan perfect.’
Aku melihat bagaimana matamu berbinar ketika anak-anak menunjukkan karya mereka yang dibuat dengan tangan sendiri—gambar yang tidak simetris, cerita yang plotnya ‘aneh’ menurut standar AI. Tapi justru di situlah keindahannya: dalam ketidaksempurnaan itu tersimpan jiwa dan cerita mereka yang murni.
Masa Depan yang Tetap Manusiawi
Di tengah semua kecanggihan ini, aku belajar darimu bahwa yang paling penting tetap tidak berubah: hubungan kita sebagai keluarga, obrolan kita di meja makan, tawa kita yang tidak direkam kamera. Teknologi hanyalah alat, tapi kitalah yang memberi jiwa pada semua itu.
Mungkin suatu hari nanti AI akan bisa menulis puisi yang lebih indah, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan pelukan hangatmu setelah hari yang panjang.
Tidak akan bisa meniru cara kau membisikkan ‘Ayah pulang’ pada anak-anak yang sudah menunggu di depan pintu.
Kita mungkin hidup di era digital, tapi hati kita tetap manusiawi. Dan selama kita menjaga keautentikan itu—dalam cara kita berinteraksi, dalam cara kita mencintai—kita akan selalu menemukan kehangatan di tengah dunia yang semakin terdigitalisasi.
Sumber: AI is filling the internet with slop. We must fight back., Livemint, 2025-09-27