
Tadi malam, setelah anak-anak akhirnya tidur dan rumah kembali sunyi, aku melihatmu duduk di sofa sambil memegang ponsel. Matamu memperhatikan sesuatu dengan tatapan yang aku kenal—tatapan seorang ibu yang sedang mencerna sesuatu yang membuatnya khawatir. ‘Lihat ini,’ katamu sambil menyodorkan ponsel. Sebuah video menunjukkan seseorang yang terlihat persis seperti tetangga kita sedang melakukan hal yang tidak masuk akal. ‘Bagaimana jika suatu hari ada yang membuat video seperti ini tentang kita?’ Bisikmu pelan. Dan di situlah kita mulai berbicara, tentang dunia baru yang harus kita hadapi bersama sebagai orang tua.
Permainan ‘Apa yang Nyata?’ yang Menjadi Bagian Hidup Kita
Aku ingat bagaimana dulu kita hanya perlu khawatir tentang apakah cerita yang anak-anak dengar di sekolah itu benar. Sekarang, kita harus mengajari mereka untuk mempertanyakan apa yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri.
Ini bukan tentang menakut-nakuti, tapi tentang membekali mereka—dan kita sendiri—dengan keterampilan baru. Seperti saat kita bersama-sama menganalisis sebuah video lucu yang mereka temukan, mencari tanda-tanda ketidakwajaran, bertanya ‘Siapa yang membuat ini?’ dan ‘Mengapa?’.
Aku lihat caramu dengan lembut membimbing mereka—bukan dengan rasa takut, tapi dengan rasa ingin tahu yang menular. Itu membuatku sadar: dalam dunia yang semakin rumit, kehadiran kita sebagai orang tua yang mau belajar bersama merekalah yang menjadi jangkar mereka.
Benteng Kepercayaan yang Kita Bangun Bersama
Di tengah semua teknologi canggih ini, aku semakin menghargai ruang keluarga kita yang sederhana. Tempat dimana anak-anak tahu mereka bisa bertanya apapun tanpa dihakimi.
Aku melihat caramu menciptakan lingkungan itu—dengan tidak buru-buru melarang, tapi dengan duduk bersama mereka, bertanya ‘Apa yang kamu pikirkan tentang video itu?’. Bahkan terkadang kita tertawa bersama ketika aku sendiri tertipu oleh video AI yang tampak nyata.
‘Bahkan ayah saja bisa tertipu,’ katamu sambil tersenyum, dan itu justru membuat mereka merasa bahwa tidak masalah untuk tidak selalu tahu. Kejujuran kita dalam mengakui ketidaktahuan justru mengajarkan mereka pelajaran paling berharga: bahwa yang penting adalah mau belajar bersama.
Melihat Kekuatan di Balik Kekhawatiran
Dan di balik semua kekhawatiran ini, aku melihat sesuatu yang indah. Teknologi yang bisa memalsukan realitas ini justru memaksa kita untuk lebih jujur satu sama lain. Untuk lebih sering berkomunikasi, lebih sering duduk bersama, lebih sering bertanya ‘Apa kabar?’ dengan tulus.
Aku ingat bagaimana minggu lalu kita membuat video pendek bersama anak-anak menggunakan tools sederhana, dan melihat mata mereka berbinar-binar. Kamu dengan bijak mengingatkan mereka: ‘Teknologi ini seperti pisau, bisa untuk memotong sayuran atau melukai orang. Pilihan ada di tangan kita.’
Dan sekali lagi, aku melihat bagaimana caramu mengubah tantangan menjadi peluang untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Pelukan Tetap Tidak Bisa Dipalsukan
Pada akhirnya, setelah semua pembicaraan tentang teknologi dan AI, yang tetap paling nyata adalah pelukan kita sebelum tidur, canda tawa saat sarapan bersama, dan kepercayaan yang kita bangun setiap hari melalui hal-hal kecil.
Teknologi mungkin bisa menciptakan video yang terlihat persis seperti kita, tapi tidak pernah bisa mereplikasi rasa aman yang kamu ciptakan ketika mendengar anak-anak bercerita tentang harinya. Tidak bisa memalsukan kehangatan rumah yang kita bangun bersama.
Dunia luar mungkin semakin sulit dibedakan antara nyata dan palsu, tapi di dalam rumah ini, kita punya sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan keasliannya: cinta dan komitmen kita sebagai sebuah keluarga.
Source: OpenAI’s Sora 2 Unleashed Internet Chaos in 24 Hours—From Dildo Ads to Furry CEOs, Decrypt, 2025/10/02 02:08:01