
Bayangkan ini: Anda menghabiskan tahun-tahun untuk meraih gelar PhD, hanya untuk menemukan bahwa bidang yang Anda pelajari telah berevolusi begitu pesat sehingga menjadi usang sebelum Anda bahkan menyelesaikan pendidikan Anda. Itulah peringatan yang disampaikan Jad Tarifi, pendiri tim generative AI pertama Google, dalam wawancara terbarunya. Tarifi memperingatkan bahwa “AI itu sendiri akan hilang selesai Anda mendapatkan PhD.” Pernyataan ini memunculkan pertanyaan mendalam bagi kita sebagai orang tua: Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita di dunia yang berubah dengan kecepatan ini? Lalu bagaimana dampaknya untuk kita sebagai orang tua? Mari kita telusuri bersama!
Mengapa Pernyataan Tarifi Bikin Orangtua Khawatir?

Jad Tarifi, pendiri tim generative AI pertama Google, bukanlah orang asing di dunia AI. Dengan gelar PhD AI dari Universitas Florida yang ia raih pada 2012, Tarifi sendiri telah mengalami pertumbuhan pesat bidang ini dari dekat. Namun, kini ia memberikan peringatan yang cukup mengejutkan: “AI itu sendiri akan hilang selesai Anda mendapatkan PhD.” Mengapa ia begitu yakin tentang hal ini?
Bayangkan seperti bermain permainan yang aturannya berubah setiap saat! Tarifi menekankan bahwa kecepatan perkembangan AI saat ini begitu pesat sehingga sesuatu yang menjadi pusat perhatian saat seseorang memulai PhD mungkin menjadi usang saat mereka lulus. Bidang seperti robotika, penemuan obat, dan sistem bahasa alami berkembang dengan cepat berkat laboratorium komersial dan startup inovatif.
Ini bukanlah pesimisme semata, melainkan realitas bahwa kita hidup di era di mana inovasi terjadi dalam minggu atau bahkan hari, bukan tahun seperti dulu. Bagi kita sebagai orang tua, ini bukanlah berita buruk, melainkan panggilan untuk memikirkan kembali bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita untuk masa depan yang penuh dengan kemungkinan tak terduga.
Keterampilan Masa Depan Anak di Era AI: Apa yang Penting?

Sebagai orang tua, kita sering khawatir tentang apakah anak-anak kita akan memiliki persiapan yang cukup untuk menghadapi dunia dewasa. Dengan putri saya yang berusia 7 tahun dan baru memasuki sekolah dasar, pertanyaan ini menjadi sangat nyata.
Bayangkan jika Anda berinvestasi waktu dan energi buat ngajarin anak pake gadget tertentu, hanya untuk mengetahui bahwa dalam enam bulan, teknologi itu akan digantikan oleh yang lebih canggih. Ini bisa bikin kita bingung dan khawatir: Apa yang harus kita ajarkan? Apa yang akan tetap relevan saat tiba saatnya mereka masuk dunia kerja? Apa yang akan tetap relevan saat mereka dewasa nanti?
Tarifi menyarankan fokus pada keterampilan niš dan koneksi manusia alih-alih hanya mengikuti gelar formal. Ini menarik perhatian kita tentang pentingnya mengembangkan keahlian dasar yang tahan lama: berpikir kritis, berkreasi, beradaptasi, dan berkolaborasi – keterampilan yang tidak akan pernah usang meski teknologi terus berubah. Mungkinkah AI di pendidikan dapat menjadi alat untuk mengembangkan keterampilan ini?
Strategi Belajar Seumur Hidup untuk Anak di Era Digital

Jadi, bagaimana cara kita mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia yang penuh perubahan cepat seperti yang dijelaskan Tarifi? Mari kita bahas beberapa strategi praktis yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Membangun Kebiasaan Belajar Seumur Hidup – Alih-alih fokus hanya “mengajar” anak, mari kita bantu mereka mengembangkan rasa ingin tahu yang tak kenal lelah. Saat keluarga berkumpul di malam hari, bukankah itu kesempatan sempurna untuk menanyakan “Apa yang kamu pelajari hari ini yang mengejutkan?” atau “Apa yang ingin kamu ketahui lebih lanjut?” Ini menciptakan budaya belajar terus-menerus di mana pengetahuan tidak berhenti saat pelajaran selesai.
Keseimbangan Antara Layar dan Dunia Nyata – Teknologi adalah alat yang powerful, tetapi tidak boleh menggantikan interaksi manusia. Dalam jadwal harian keluarga, pastikan ada waktu main di luar tanpa hp/tablet: bermain di taman, membaca bersama, atau sekadar jalan sore mengeksplorasi lingkungan sekitar. Saat jalan sore, kami sering diskusi tentang teknologi baru yang dilihat anak, dan itu jadi momen seru untuk saling tukar pikiran. Aktivitas-aktivitas seperti ini mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang tak bisa digantikan oleh teknologi. Bagaimana menemukan keseimbangan ini tanpa membuat anak merasa dikecualikan dari teman-temannya yang menggunakan teknologi?
Beradaptasi dengan Perubahan – Tunjukkan kepada anak bahwa kita semua belajar bersama. Ketika teknologi baru muncul, jangan ragu untuk mengakui bahwa kita juga perlu mempelajarinya bareng-bareng. Ini ngajarin mereka bahwa tidak ada yang tahu semuanya, dan itu nggak masalah – yang penting adalah keberanian untuk mencoba dan belajar dari kesalahan.
Membangun Pendidikan Anak yang Adaptif di Era AI

Meskipun Tarifi menyarankan untuk melewatkan PhD, ia tidak menyarankan untuk melewatkan pendidikan sama sekali. Sebaliknya, ia menyoroti perlunya pendidikan yang lebih adaptif dan relevan dengan kecepatan perubahan saat ini.
Bayangkan jika kita membangun rumah di tanah yang bergetar. Fondasi harus kuat dan fleksibel untuk menahan guncangan. Demikian pula dengan pendidikan anak-anak kita: kita perlu memberikan mereka fondasi yang kuat dalam keterampilan inti seperti literasi digital, pemikiran kritis, dan kecerdasan emosional, sambil memberi mereka fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Salah satu cara terbaik untuk melakukan ini adalah dengan mengajarkan anak cara belajar, bukan hanya apa yang harus dipelajari. Ketika mereka memahami proses belajar, mereka dapat menerapkannya pada topik apa pun yang muncul di masa depan, termasuk teknologi yang belum kita ketahui saat ini. Bagaimana pendidikan formal dapat beradaptasi dengan cepatnya perkembangan AI di pendidikan?
Kesimpulan: Menyiapkan Anak untuk Masa Depan yang Penuh Kemungkinan

Pernyataan Jad Tarifi tentang AI yang akan hilang selesai PhD mungkin terdengar mengejutkan, tetapi sebenarnya ini adalah kesempatan bagi kita sebagai orang tua untuk memikirkan kembali pendekatan kita dalam mempersiapkan anak-anak untuk masa depan.
Dunia yang berubah cepat bukanlah ancaman, melainkan panggilan untuk fleksibilitas, ketekunan, dan rasa ingin tahu yang tak kenal lelah. Dengan memberikan anak-anak kita fondasi yang kuat dalam keterampilan inti dan membantu mereka mengembangkan kebiasaan belajar seumur hidup, kita tidak hanya mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan, tetapi untuk menciptakannya.
Ingatlah bahwa meski teknologi terus berubah, nilai-nilai inti seperti keberanian, ketekunan, dan empati akan selalu menjadi fondasi yang kokoh. Mari kita bersama-sama membantu anak-anak kita mengembangkan kualitas-kualitas ini, sehingga mereka tidak hanya bertahan di dunia yang berubah, tetapi berkembang di dalamnya.
Pada akhirnya, seperti kata Tarifi, “Higher education as we know it is on the verge of becoming obsolete.” Tetapi pendidikan sejati – proses belajar, beradaptasi, dan berkembang – tidak akan pernah usang. Dan itulah yang akan membantu anak-anak kita tidak hanya bertahan, tetapi bersinar di masa depan yang penuh dengan kemungkinan tak terduga.
Source: Ex-Google GenAI founder says “AI is going to be gone by the time you finish a PhD” — higher education degrees can’t keep up, Windows Central, 2025-08-19 15:11:27
