Wah, rasanya baru kemarin kita pusing soal screen time, sekarang tantangannya sudah AI ya, Ayah dan Bunda! Sebagai orang tua di era digital ini, rasanya ada saja teknologi baru yang bikin kita bertanya-tanya. Nah, baru-baru ini saya membaca sebuah berita menarik. Seorang pengusaha besar memperingatkan para pemimpin perusahaan agar tidak sekadar “copy-paste” jawaban dari AI untuk mengambil keputusan penting. Katanya, AI memang bisa menghasilkan tulisan yang mulus, tapi ia tidak punya keberanian, intuisi, dan orisinalitas.
Membaca itu, saya langsung berhenti sejenak. Wow. Ini bukan cuma nasihat untuk dunia bisnis, tapi ini pengingat yang sangat penting untuk kita sebagai orang tua!
AI Itu Keren, Tapi Bukan Segalanya
Jujur saja, AI itu sering jadi penyelamat! Saat buntu mencari ide aktivitas seru untuk si kecil yang kini berusia 7 tahun, atau butuh cara super simpel untuk menjelaskan kenapa bintang berkelip, AI bisa memberikan jawaban dalam hitungan detik. Benar-benar luar biasa, kan?
Tapi, di sinilah letak jebakannya. Seperti yang diingatkan dalam berita itu, AI hanya menyajikan informasi olahan. Ia tidak punya “rasa”. Ibaratnya begini, AI bisa memberi kita daftar 100 destinasi liburan terbaik di dunia, lengkap dengan semua kelebihannya. Tapi, hanya kita sebagai orang tua yang tahu kalau putri saya akan jauh lebih bahagia berlarian di pantai yang sepi sambil mencari kerang, ataupun ketika pulang sekolah dengan wajah muram karena pertengkaran dengan teman sebangkunya, itu butuh pendekatan yang lebih empatik. AI menyajikan data, tapi kita yang memahami jiwa anak kita.
Hati Nurani & Intuisi: ‘Superpower’ Orang Tua
Inilah “superpower” kita yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh mesin secanggih apa pun. Beberapa hari lalu, putri saya pulang sekolah dengan wajah yang sedikit murung. Seperti biasa saat dia menunduk dan menggenggam erat tasnya, saya tahu ada sesuatu yang tidak beres. Kebiasaan membeli cilok di warung di sebelah sekolah kami sudah tidak jadi, dan dia menolak makan siang yang saya siapkan.
Kalau saya bertanya pada AI, “Anak 7 tahun sedih karena pertengkaran dengan teman, apa yang harus dilakukan?” mungkin jawabannya adalah “ajak bicara dengan tenang”, “alihkan perhatiannya”, atau “berikan camilan favorit”. Semua saran yang logis, tapi terasa… standar.
Tapi intuisi saya sebagai ayahnya merasakan sesuatu yang lain. Saya kenal betul tatapan itu. Itu bukan sedih karena pelajaran yang sulit, tapi sedih karena ada masalah dengan sahabatnya. Tanpa banyak bertanya, sebuah pelukan hangat dan bisikan, “Ayah tahu, pasti rasanya nggak enak ya kalau sahabat kita hari ini main sama yang lain,” sudah cukup untuk membuatnya menangis lega dan kemudian bercerita. Momen seperti ini, koneksi dari hati ke hati inilah yang membangun fondasi kepercayaan dan keamanan emosional anak kita. AI tidak akan pernah bisa memberikan itu.
Menjadi ‘Pilot’, Bukan Sekadar ‘Penumpang’
Jadi, bagaimana caranya agar kita tetap menjadi “pilot” yang memegang kendali, dengan AI sebagai “co-pilot” yang andal? Gampang banget! Ini beberapa cara yang bisa kita terapkan:
- Gunakan AI untuk Riset, Bukan untuk Keputusan Akhir. Butuh ide resep masakan sehat? Silakan tanya AI. Tapi saat menentukan aturan di rumah atau cara menanggapi perilaku anak, keputusan itu harus datang dari diskusi dan hati nurani kita sebagai keluarga.
- Selalu Tambahkan ‘Bumbu’ Keluarga. Anggap saja saran dari AI itu seperti masakan dasar yang hambar. Kitalah yang harus menambahkan “bumbu” berupa nilai-nilai, tradisi, empati, dan keunikan keluarga kita agar “masakan” itu terasa pas dan penuh cinta. Misalnya, saat putri saya meminta ide aktivitas liburan, saya ajaknya menggabungkan kebiasaan keliling pasar tradisional Indonesia dengan perencanaan modern melalui aplikasi.
- Ajari Anak Cara Bertanya, Bukan Hanya Menerima. Ini adalah bagian penting dari pendidikan AI di rumah. Saat menggunakan AI bersama anak, ajak ia berpikir kritis. “Menurut AI begini, tapi menurut Kakak gimana baiknya? Kenapa?” Ini melatih mereka untuk tidak menelan informasi mentah-mentah.
Mengambil Pelajaran dari Semua Itu…
Menjadi orang tua di era digital ini memang penuh tantangan, tapi juga penuh peluang unik. Terkadang, kita terjebak mencari solusi instan di tengah rutinitas yang padat, lupa bahwa nilai-nilai dasar seperti kepekaan emosi dan intuisi ternyata adalah senjata terkuat dalam memahami dan mendidiki anak. Justru ketika teknologi semakin canggih, kita semakin ingat pentingnya kembali pada nilai dasar yang membuat kita manusia.
Ini bukan tentang menjadi anti-teknologi. Sama sekali bukan! Ini tentang menjadi manusia yang lebih bijak di tengah kemajuan teknologi. Karena pada akhirnya, yang akan paling diingat oleh anak kita bukanlah seberapa cepat kita menemukan jawaban untuk mereka, tapi seberapa dalam kita memahami dan terkoneksi dengan mereka.
Jadi, saat kita menavigasi dunia pengasuhan anak yang semakin kompleks ini, apa yang akan kita jadikan kompas utama? Kecerdasan buatan, atau kearifan hati seorang orang tua?
Sumber: Entrepreneur Anupam Mittal slams founders for ‘outsourcing judgement’ to ChatGPT, criticizes Ctrl+C-Ctrl+V emails: Says ‘AI can fake intelligence’, Economic Times, 1 September 2025
