AI di Pendidikan Tinggi: Belajar dari Pengalaman Anak Usia SD

AI di Pendidikan Tinggi: Persiapan Orang Tua untuk AnakIlustrasi suasana kampus dengan billboard bertuliskan AI

Jujur aja, sambil menunggu anak pulang dari main bareng teman-temannya—dia kan baru kelas 2 SD dan sekolahnya cuma 3 menit jalan kaki—saya baca berita soal AI di universitas. Serius deh, ternyata teknologi kayaknya lebih suka jalan di tempat, belum ngebawa loncatan besar di dunia pendidikan.

Janji AI & Kebutuhan Fondasi untuk Manusia

Ilustrasi AI di ruang kelas universitas

Penelitian dari The Conversation bilang AI di kampus tuh kayak tenda yang dipasang tapi belum dikasih tiang utama—banyak eksperimen, sedikit hasil signifikan. Sama kayak masa pertama kali ajak anak pertama kali naik sepeda roda tiga, kan kita amatin dulu dia? Sama juga di sistem pendidikan: banyak yang udah percobaan tapi belum ada pedomannya.

Bayangkan aja, ChatGPT yang sempat jadi trend mahasiswa, ketimbang jadi alat rutin malah jadi viral temporer. Untungnya, ini kasih ruang kita orang tua untuk fokus di hal yang lebih mendasar: bantu dia ngerti kapan teknologi seru, kapan dunia nyata yang harus didahulukan.

Persiapan Anak SD ala Kimchi & Roti Gandum

Gambar ayah dan anak bermain sambil jelaskan teknologi

Malam itu pas lagi masak kimchi stew (relaks, tekstur acar & pedasnya bisa ajarkan konsep ‘interaksi kompleks’), saya putar cerita: kalau AI di kampus masih dicoba-coba, menurut gue gak perlu buru-buru push programming untuk anak yang baru belajarin angka dan huruf.

Hasil riset Educational Technology Journal bilang, platform AI lebih berguna sebagai teman latihan aja. Sama kayak misalnya dia pakai Photomath—super membantu, tapi ujung-ujungnya tetep perlu guru biar ngerti logikanya. Jadi gak perlu takut AI bakal ‘replace’ manusia, karena manusialah yang ngatur alat-alat ini.

Kayak waktu dia main slime pas hari hujan minggu lalu. Sambil menunggu hujan reda, kami coba jelasin konsep ‘feedback loop’-nya AI lewat proses dia kenapa bubarnya mesti diulang berkali-kali. Beneran seru, karena dari mainan itu saja kabisa telanjangin prinsip dasar machine learning: selalu adaptasi dengan masukan terbaru, tapi perlu dasar yang kuat dari kita manusia.

Batasi Teknologi Tanpa Dendam

Kemarin sore, saat minum jus mangga (dia emang penggemar juice mixer portabel kami), kami punya game baru: “Bayangkan seandainya semua orang di dunia pakai AI 24 jam.” Dia spontan jawab, “Robot bisa kasih jawaban, tapi gak bisa peluk dan ngasih semangat kayak mama kalau aku patah hati.” Seringetika bokap-poster ala Korea pake pelukan haru. Betul pula, kan?

Justru dari sini saya belajar sesuatu. Seperti potongan origami yang dibentuk berkali-kali, AI jadi berguna jika kita konteksualin dengan humanisme. Kami bahkan ngebantuin dia bikin kolase visual tentang “emosi yang enggak bisa direkam mesin” pake warna dan kertas cut-out. EDAN! ternyata anak-anak muda sekali dengar bisa mengerti perbedaan antara kreativitas Al dan spontanitas perasaan manusia.

Menyelami ‘Masalah Besar’ Sekilas

Ilustrasi pohon mengambil akar kuat

Bayangkan pohon rocker di taman kita—akar kuat yang tahan gerimis ekstrem. Begitu juga anak-anak kita perlu fondasi emosional yang gak bisa ditawar. Saya jadi ingat, dulu di hari hujan lebat, dia tanya, “Papa, kalau AI gak bisa ngedance sendiri gimana kalau elang kertas kita dibikin nari pake sensor gadget?” Wah! Kita eksperimen bikin pernak-pernik “AI DIY” dari box susu dan LED bekas, sianganin mainan piranti cerdas ala kadarnya.

Tapi lihat analoginya: sistem bernalar kayak AI—yang strukturnya matematis—itu kayak istana pasir yang kokoh: dasar pasirnya adalah kebiasaan offline yang kaya, sementara ornamen teknologinya hanyalah hiasan top. Maka, saat dia kelak browsing info kuliah, fokusnya bukan “gimana dapetin AI tools”, tapi “coba dengarkan cerita orang tua kamu tentang masa kuliah mereka dulu.”

Source: AI still isn’t making a serious impact on university education—here’s why, Phys, 2025-08-14 16:14:57

Tapi pondasi kuat itu kayak kimchi stew, teman: perlu resep klasik (kemanusiaan) digabung dengan gairah inovasi (tech). © 2025 Appa-lytics

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top