Pernahkah terpikir, apa yang terjadi ketika kita meminta AI untuk menggambarkan ‘orang biasa’ dari suatu tempat? Baru-baru ini, proyek Pleated Jeans (2025) meminta Midjourney membuat gambar stereotip orang dari setiap negara bagian AS—dari wanita pirang California hingga pasangan berbusana tradisional Hawaii. Hasilnya? Campuran antara akurat dan… lumayan aneh, sih. Sebagai orangtua, ini bikin aku merenung: bagaimana gambar-gambar seperti ini memengaruhi cara anak-anak kita memandang dunia?
Dibalik Layar: Dari Mana AI Belajar Stereotip?
AI tidak muncul begitu saja dengan ide-idenya—ia belajar dari data yang kita berikan. Seperti anak kecil yang menyerap segala hal di sekitarnya, AI mengumpulkan miliaran gambar dan teks dari internet. Tapi masalahnya, data itu sering kali penuh dengan stereotip dan bias yang sudah ada di masyarakat. Misalnya, penelitian dari Bloomberg menunjukkan bahwa AI cenderung menggambarkan perempuan dalam pekerjaan yang dianggap ‘feminin’ seperti sekretaris atau perawat, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai manager atau profesor. Bahkan, ketika diminta menggambar ‘orang miskin’, AI sering kali menghasilkan gambar orang berkulit gelap—seperti yang ditemukan peneliti University of Washington.
Ini mengingatkanku pada bagaimana anak kita juga menyerap pesan dari sekitar. Meski contoh ini dari AS, di Indonesia kita mungkin lihat AI menggeneralisasi orang dari suku tertentu, seperti anggapan semua orang Jawa itu tertutup atau orang Papua selalu berpakaian adat.
Jika AI bisa terjebak dalam pola pikir yang sempit, bagaimana dengan anak-anak yang masih membentuk pandangan dunianya?
Anak-Anak dan Dunia yang ‘Dibentuk’ AI: Bagaimana Dampaknya?
Anak-anak zaman sekarang tumbuh bersama teknologi. Mereka mungkin bermain dengan aplikasi gambar AI atau melihat konten yang dihasilkan mesin. Tapi ketika AI menggambarkan orang dari suatu daerah dengan ciri-ciri tertentu—misalnya, orang Florida yang selalu siap main golf atau orang Alaska yang selalu berbalut jaket tebal—apa yang anak kita pikirkan? Apakah mereka akan menggeneralisasi bahwa semua orang dari tempat itu memang seperti itu?
Ini bukan sekadar masalah akurasi, tapi tentang bagaimana anak belajar memahami keragaman. Seperti ketika kita jalan-jalan ke taman dan bertemu keluarga dari berbagai latar belakang, kita ingin anak kita melihat bahwa setiap orang unik, bukan sekadar ‘stereotip’ dari suatu tempat.
Tips Orangtua: Ajarkan Anak tentang Keragaman dan Empati
Pertama, kita bisa gunakan momen seperti ini untuk mengajak anak bicara tentang bias dan stereotip. Misalnya, tunjukkan gambar-gambar AI itu dan tanya: ‘Menurut kamu, apakah semua orang dari sini memang seperti ini?’ Ajak mereka berpikir kritis—seperti detective kecil yang menyelidiki kebenaran di balik gambar. Seru, kan? Coba ajak anak eksperimen hari ini: minta AI menggambar ‘orang baik’ lalu tanya, “Menurutmu, apakah semua orang baik itu terlihat begini?”
Kedua, kita bisa perkenalkan anak pada cerita dan pengalaman nyata dari berbagai budaya. Baca buku tentang kehidupan di tempat lain, nonton dokumenter, atau bahkan coba hidangan fermentasi seperti kimchi (yang butuh kesabaran ekstra), sambil cerita kebiasaan budaya—rasanya seperti petualangan kecil di meja makan! Hal-hal kecil seperti ini membantu anak melihat bahwa dunia jauh lebih kaya daripada yang digambarkan AI.
Dan yang paling penting, kita tanamkan nilai empati. Bahwa setiap orang layak dilihat sebagai individu, bukan sekadar kategori. Seperti ketika anak kita bertemu teman baru—kita ajarkan untuk mengenal mereka sebagai pribadi, bukan berdasarkan asal-usulnya.
Masa Depan: AI yang Lebih Bijak, Anak yang Lebih Terbuka
Berita baiknya, banyak peneliti sedang bekerja untuk membuat AI lebih adil dan kurang bias. Tapi sementara itu, peran kita sebagai orangtua tetap krusial. Kita bisa ajarkan anak untuk menggunakan teknologi dengan bijak—misalnya, dengan selalu bertanya: ‘Apakah ini mencerminkan seluruh cerita?’
Dan jangan lupa, kita juga bisa ajak anak berekspermen dengan AI! Coba minta mereka menggambar sesuatu yang positif—misalnya, ‘orang yang membantu sesama’—dan lihat apa yang AI hasilkan. Bisa jadi kegiatan seru sekaligus pembelajaran.
Pada akhirnya, yang kita inginkan adalah anak yang tumbuh dengan pikiran terbuka, mampu menghargai keragaman, dan penuh rasa ingin tahu. Dunia mereka akan dipenuhi teknologi, tapi dengan bimbingan kita, mereka bisa menjadi generasi yang menggunakan AI untuk kebaikan—bukan untuk memperkuat stereotip. Bayangkan, obrolan kecil hari ini tentang gambar AI mungkin jadi benih bagi anak kita untuk selalu melihat manusia bukan sebagai label, tapi sebagai kisah yang layak dihargai.