
Pernah memperhatikan momen ketika anak asyik berdiskusi dengan AI tentang pertanyaan rumit, tapi saat makan malam tiba-tiba bertanya “Kalau menurut Bunda gimana?” Di situlah keajaiban terjadi—teknologi menjadi batu loncatan untuk obrolan lebih dalam. Kita mungkin sering khawatir: apakah AI akan menggantikan peran kita sebagai tempat curhat pertama? Tapi bagaimana jika justru kita jadikan ini kesempatan emas untuk membangun kebiasaan diskusi yang lebih kaya?
Robot Bisa Salah Juga: Mengajak Anak Verifikasi Informasi
Pernah lihat anak langsung mengangguk percaya saat AI menjawab pertanyaannya? Di situlah kita bisa masuk dengan kalimat sederhana: “Wah jawabannya menarik nih, coba yuk kita cek di buku ensiklopedia atau tanya Pak Guru besok!” Proses membandingkan jawaban AI dengan sumber lain ini mengajarkan anak bahwa tahu itu kayak gado-gado, makin banyak isinya makin enak.
Tips simpel: buat permainan “Buru Jawaban” di mana satu pertanyaan dicek melalui tiga cara: AI, buku, dan wawancara dengan keluarga. Yang pasti, suara tawa saat mereka menemukan fakta “lucu” dari kakek malah jadi pengingat: pengetahuan hidup selalu ada rasa hangatnya.
Dari Jawaban Instan ke Diskusi Tanpa Henti
Ketika AI memberi penjelasan tentang siklus air, coba balik bertanya pada anak: “Menurut kamu kenapa jawabannya seperti itu?” atau “Kalau kita praktekkan, kira-kira bagaimana caranya?” Percakapan ini seringkali berkembang jadi proyek kecil-kecilan—mulai dari membuat miniatur taman di baki sampai mengamati embun pagi.
Yang lucu, kadang jawaban AI kurang kontekstual (“Di Mars hujan asam!”) jadi bahan candaan sekaligus pembelajaran: “Robotnya belum pernah main hujan-hujanan kayak kita tuh!”
Dengan begitu, obrolan melebur menjadi petualangan, bukan sekadar hafalan.
Jam Digital yang Manusiawi
Atur waktu layar seperti mengatur bumbu masakan—cukup untuk memberi rasa, tapi tidak sampai mengalahkan bahan utamanya. Misalnya: 15 menit bertanya ke AI tentang jenis awan, lalu 45 menit mengamati langit sambil menggambar bentuk awan yang ditemui. Kuncinya adalah kehadiran fisik kita sebagai pendamping. Kaya waktu kita dulu belajar naik sepeda—kerangka roda (AI) boleh membantu, tapi pegangan tangan ayah dan teriakan semangat ibu yang bikin percaya diri.
Ketika Anak Lebih Percaya Robot
Ada rasa sesak saat mendengar “Tapi kata AI sih…” sebagai pembenaran? Di situ pentingnya jelasin dengan nada kangen. Mulailah dengan mengakui kemampuan teknologi: “Betul, AI memang cepat mencari informasi,” lalu arahkan ke diskusi: “Tapi kata Papi gimana? Manusia punya pengalaman langsung. Contohnya waktu kita kemarin…”
Sesekali buat permainan “Siapa Lebih Pintar”—ajak anak mengevaluasi kebenaran pernyataan sederhana dari berbagai sumber sambil minum coklat hangat karena kehangatan cangkir di tangan seringkali lebih meyakinkan daripada layar dingin. Pada akhirnya, yang mereka ingat bukan siapa benar, tapi rasa aman saat bersama kita.
Sumber: ‘Make AI an ally’, The Star, 2025/09/13