Pernahkah terbayang bahwa suatu hari nanti, teknologi bisa lebih pintar dari kita dalam banyak hal? Jeff Dean, ilmuwan utama Google DeepMind, baru saja mengonfirmasi bahwa AI sudah melampaui kemampuan rata-rata manusia dalam berbagai tugas non-fisik. Sebagai orangtua, ini bikin kita mikir: bagaimana mempersiapkan anak untuk dunia yang semakin cerdas ini? Saya sempat khawatir juga—jangan-jangan besok anak kita cuma jadi remote control AI? Tapi ternyata…
AI Sudah Di Sini, dan Mereka Cukup Pintar

Jeff Dean dengan gamblang menyatakan bahwa model AI terbaru sudah lebih baik dari orang biasa dalam banyak tugas sehari-hari. Bayangkan saja—dari menjawab pertanyaan rumit sampai menganalisis data, AI bisa melakukannya dengan lebih cepat dan akurat. Tapi, Dean juga mengingatkan bahwa AI ini belum selevel ahli manusia. Mereka masih bisa gagal dalam banyak hal.
Ini mengingatkan saya pada saat anak saya mencoba menyusun puzzle. Kadang dia bisa menyelesaikan bagian yang sulit dengan cepat, tapi di bagian lain butuh bantuan. Nggak cuma waktu main puzzle, kolaborasi manusia-AI pun punya dinamika mirip. Coba lihat penelitian dari Nature yang menunjukkan bahwa kombinasi manusia-AI justru sering kali kurang optimal dibandingkan ketika AI atau manusia bekerja sendiri. Misalnya, dalam mendeteksi review hotel palsu, AI sendiri mencapai akurasi 73%, tim manusia-AI 69%, dan manusia saja 55%. Artinya, kerjasama yang efektif nggak terjadi begitu saja—butuh pendekatan yang pas!
Apa Artinya untuk Anak-Anak Kita di Era AI?
Dunia yang dihadapi generasi kecil kita akan sangat berbeda. Kalau AI sudah jago mengerjakan banyak soal rumit, terus apa kelebihan manusia? Jawabannya mungkin ada di sisi yang tetap jadi keunikan kita: kreativitas, empati, dan cara berpikir kritis.
Kayak waktu anak saya nyamperin burung di taman, dia malah tanya “Kalau burung pakai AI, bisa ngomong nggak?”—ini justru saatnya kita jelaskan batasan teknologi! Saya sering melihat mereka bermain dengan teman-temannya—nggak cuma selesaikan masalah, tapi juga saling tertawa dan menghibur. Ini sesuatu yang AI belum bisa lakukan sampai sekarang.
Riset tentang ChatGPT dan GPT-4 pada soal sains NAEP menemukan bahwa AI bisa menyelesaikan masalah tingkat tinggi setara manusia. Tapi kemampuan siswa justru turun ketika soal makin rumit. Ini membuktikan pola pikir AI dan manusia itu berbeda banget.
Mempersiapkan Anak untuk Era AI: Bukan soal Teknis, tapi Humanis

Daripada resah AI bakal mengambil alih segalanya, mending kita fokus pada hal-hal yang bikin anak tetap spesial. Ini beberapa ide yang bisa diterapkan:
1. Dorong Rasa Ingin Tahu ala Petualang Kecil
Saya suka ajak anak bertanya “Kenapa langit biru?” setiap jalan ke taman. Eksplorasi dadakan itu justru bikin belajar sains seru kayak main tebak-tebakan!
2. Asah Kecerdasan Emosional
AI memang juara hitung-hitungan, tapi ngajarin anak ngerti perasaan temannya? Itu domain kita! Ajak mereka mengenali emosi sendiri dan orang lain—sedih, seneng, atau kecewa.
3. Harmoni antara Teknologi dan Dunia Nyata
Teknologi itu sahabat hebat, tapi jangan lupakan pengalaman langsung. Nggak usah mahal-mahal, bikin istana dari bantal di ruang tamu pun bisa melatih kreativitas yang AI nggak punya. Yuk, lebih sering masak bareng atau main di luar!
Kolaborasi Manusia-AI: Masa Depan Cerah
Daripada ngeliat AI sebagai saingan, mending kita ajak mereka kerja sama. Jeff Dean sendiri bilang AI sekarang masih jauh dari level ahli manusia—masih banyak area di mana kita unggul.
Studi tentang model AI pada tes WAIS-IV menunjukkan AI bisa menyamai kemampuan manusia rata-rata di beberapa bidang, tapi tetep terbatas di domain lain. Ini mengingatkan kita bahwa tes buat manusia belum tentu cocok buat ngukur kecerdasan AI.
Jadi, masa depan mungkin bukan tentang “manusia versus AI”, tapi “manusia dengan AI”. Gimana kita bisa manfaatkan teknologi ini buat memperkuat kelebihan kita, bukan digantikan.
Tantangan Orangtua di Dunia Cerdas
Sebagai orangtua, tantangan terbesarnya mungkin cari keseimbangan. Di satu sisi, kita mau anak melek teknologi dan siap hidup di dunia digital. Di sisi lain, kita nggak ingin mereka kehilangan jiwa manusianya.
Saya punya aturan sederhana: teknologi digunakan untuk belajar dan berkarya, bukan cuma buat hiburan. Contohnya, pakai AI buat cari jawaban pertanyaan sains seru, tapi tetap buktikan dengan eksperimen nyata bersama-sama.
Yang penting, anak-anak belajar paling baik dari contoh. Kalau kita tunjukkan cara pakai teknologi dengan bijak, mereka akan ikut pola yang sama.
Melangkah ke Depan dengan Optimis

Walaupun AI sudah mencapai banyak hal luar biasa, masih banyak yang perlu dikembangkan. Kita sebagai komunitas orangtua perlu kolaborasi dengan guru dan lingkungan untuk menyiapkan generasi penerus.
Daripada takut dengan kemajuan AI, mending kita lihat sebagai kesempatan—untuk bebaskan manusia dari tugas rutin dan fokus pada hal-hal yang bikin kita tetap manusiawi: berkreasi, berinovasi, dan berhubungan dengan sesama.
Bayangin 20 tahun lagi, cucu kita mungkin akan tanya: “Nenek kakek dulu gimana ngajarin kami jadi manusia saat AI sudah pintar?” Jawabannya simpel: dengan tetap memegang tangan mereka saat berjalan ke sekolah, tepat seperti yang kita lakukan sekarang.
Seperti kata Jeff Dean, meski AI sangat maju, mereka punya keterbatasan. Justru di sinilah letak keunikan kita—kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan tumbuh bersama teknologi.
Source: AI Already Surpasses Average Human Ability In Many Domains: DeepMind Scientist, Ndtvprofit, 2025/09/02 11:55:06
