
Di Balik Layar Gadget Kecil Mereka, Ada Dunia Belajar Baru yang Menunggu untuk Kita Jelajahi Bersama
Kisah menarik terjadi kemarin… Aku masih ingat jelas saat pertama kali melihat anak lebih fokus ngobrol sama asisten virtual daripada cerita sama ayahnya. Awalnya, dada ini sedikit tersenyum getir… tapi kemudian kusadar ini justru kesempatan. Pernah nggak sih, merasakan saat anak lebih anteng ngobrol sama asisten virtual daripada cerita ke kita? Aku beberapa kali melihat itu, dan awalnya sempat bikin hati ini sedikit tercenung. Tapi kemudian aku sadar—ini bukan tentang siapa yang lebih baik, tapi tentang bagaimana kita bisa hadir bersama mereka dalam petualangan belajar yang baru ini.
Belajar Bahasa Inggris Bareng AI: Dari Mana Mulainya?
Masih ingat waktu pertama kali kita coba pakai aplikasi AI untuk belajar bahasa Inggris bersama anak? Aku jujur, awalnya agak canggung juga, bingung harus mulai dari mana. Tapi seperti biasa, kita belajar bersama, langkah demi langkah. Aku perhatikan bagaimana anak dengan naturalnya bertanya ke AI tentang kosakata baru, dan AI merespons dengan cara yang membuat mereka penasaran untuk belajar lebih jauh.
Yang menarik, justru di situlah kesempatan kita untuk terlibat. Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai teman belajar yang menambah dimensi baru. Saat AI menjelaskan pronunciation, kita bisa duduk bersama, mempraktikkan langsung, dan tertawa bersama ketika salah mengucapkan. Saat anak pertama kali berhasil mengucapkan kosakata Inggris dengan benar setelah latihan bareng AI, matanya berbinar-binar, dan hati ini langsung panas! Itu momen yang nggak akan terlupakan.

Antara Kekhawatiran dan Harapan: Apakah AI Bikin Anak Malas Berpikir?
Pertanyaan ini sempat mengganggu pikiranku juga. Apa iya AI akan membuat anak tergantung dan malas berpikir sendiri? Tapi kemudian aku melihat bagaimana kita bisa mengarahkan penggunaan AI dengan bijak. Bukan sebagai pemberi jawaban instan, tapi sebagai pemandu yang merangsang rasa ingin tahu.
Seperti waktu anak bertanya tentang sains, AI memberikan penjelasan dasar, lalu kita bisa lanjutkan dengan eksperimen sederhana di dapur. Jadi AI menjadi pintu masuk, bukan akhir dari proses belajar. Itu yang membuatku tenang—selama kita tetap hadir sebagai pendamping, teknologi justru bisa memperkaya pengalaman belajar mereka.
Mengatur Screen Time di Era Belajar Digital
Ini mungkin tantangan terbesar kita ya? Di satu sisi ingin memanfaatkan teknologi untuk pendidikan, di sisi lain khawatir dengan waktu layar yang berlebihan. Aku belajar dari caramu yang kreatif—membuat jadwal yang seimbang antara belajar dengan AI dan aktivitas offline. Dan saat kita mulai mengatur waktu layar dengan bijak, sesuatu yang menarik terjadi—kita mulai melihat bagaimana teknologi bisa jadi mitra dalam mengasah kemampuan berpikir anak. Misalnya, setelah 30 menit belajar bahasa Inggris dengan AI, kita ajak anak bermain di luar atau membaca buku bersama. Jadi teknologi bukan pengganti, tapi bagian dari ekosistem belajar yang lengkap. Yang penting adalah bagaimana kita sebagai orang tua tetap memegang kendali dan mengarahkan dengan bijak. Dan ketika kita berhasil menemukan keseimbangan itu, sesuatu yang menakjubkan terjadi—teknologi tidak lagi menjadi pengalih perhatian, tapi jadi alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir anak.

Membangun Critical Thinking di Tengah Kemudahan AI
Pernah suatu kali AI memberikan jawaban yang kurang tepat untuk PR matematika anak. Awalnya sempat panik, tapi kemudian jadi momen berharga untuk mengajarkan critical thinking. Kita duduk bersama, membahas mengapa jawaban itu mungkin salah, dan bagaimana mengecek kebenarannya. Justru di situlah nilai terbesar—mengajarkan anak untuk tidak menerima segala sesuatu begitu saja, bahkan dari teknologi tercanggih sekalipun. AI menjadi alat untuk belajar berpikir kritis, bukan sekadar mesin pemberi jawaban.
Masa Depan Pendidikan: Kolaborasi antara Manusia dan Teknologi
Kadang aku membayangkan dunia yang akan dihadapi anak-anak kita nanti. Sebuah dunia dimana AI sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tapi yang membuatku optimis adalah melihat bagaimana kita sekarang sudah mulai membangun fondasi yang tepat. Pagi tadi, melihat anak tertawa sembari belajar dengan AI, tiba-tiba kusadari sesuatu yang dalam—ini bukan tentang teknologi vs manusia, tapi tentang bagaimana kita bisa bersatu dalam perjalanan belajar mereka. Bukan tentang apakah AI akan menggantikan peran guru atau orang tua, tapi bagaimana kita berkolaborasi dengan teknologi untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya dan bermakna. Seperti kita yang duduk bersama anak, menjelajahi pengetahuan baru dengan bantuan AI, namun tetap menjaga kehangatan interaksi manusiawi.
Mungkin inilah tantangan terbesar kita sebagai orang tua di era digital—tetap menjadi anchor dalam kehidupan anak, sambil membuka diri terhadap kemajuan teknologi yang bisa memperkaya perjalanan belajar mereka.

Sebagai orang tua, kita tidak perlu takut dengan kemajuan teknologi. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memandu anak-anak kita untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai pengganti. Ketika kita hadir bersama mereka dalam setiap langkah belajar, baik itu bersama AI maupun tanpa AI, kita membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan mereka. Seperti halnya makan malam di keluargaku, di mana masakan Korea dan Kanada bertemu di satu meja, pendidikan anak juga bisa menggabungkan tradisi dengan inovasi. Mungkin pengalaman parenting campuran ini membuatku melihat dari dua sisi—nilai tradisi yang tetap dipegang teguh seiring dengan terbukanya peluang baru melalui teknologi. Siapa sangka, belajar bahasa Inggris bisa jadi petualangan seru ketika kita memadukannya dengan keceriaan anak-anak? Bagaimana kalau kita coba lihat AI sebagai teman setia dalam perjalanan pendidikan, bukan sebagai pesaing? Dengan perspektif seperti itu, setiap sesi belajar bisa menjadi momen kebersamaan yang tak terlupakan.

Di akhir hari, yang terpenting adalah kita tetap menjadi bagian dari kehidupan belajar mereka. Baik itu melihat senyum mereka saat mengucapkan kosakata Inggris pertama, atau ketawa bersama saat mencoba eksperimen sederhana dari rekomendasi AI. Semua itu adalah kenangan berharga yang akan membentuk fondasi kebersamaan kita.
Jadi, jangan khawatir jika terkadang anak lebih anteng ngobrol dengan asisten virtual. Mari kita gunakan momen itu sebagai kesempatan untuk belajar bersama, menemukan hal baru, dan memperkuat ikatan keluarga di tengah perubahan zaman.
Source: Digital Ministry mulls joint effort with Education, Higher Education Ministries to boost AI education hub, The Star, 2025/09/20
