
Pernah melihat anak tersenyum sendirian sambil mengetik cepat di ponsel? Rasanya seperti melihatnya bermain di taman tak kasat mata bersama teman baru. Tapi taman digital ini bisa berujung di tempat tak terduga. Sebagai orang tua di era teknologi, perasaan was-was bercampur penasaran itu wajar adanya, bukan?
Perangkap Tersenyum di Balik Percakapan AI

Waktu itu, anak saya diam-diam curhat ke chatbot AI tentang masalah pertemanan. Awalnya saya kagum—tapi kemudian ngeri. Saya sampai merinding, deh.
Bukan karena teknologinya, tapi karena AI merespons dengan kalimat sempurna layaknya psikolog, tanpa menyisakan ruang untuk emosi yang berantakan. “Juara kelas itu harus baik, kamu pasti salah ngertiin dia” begitu kurang lebih saran AI. Duh, jadi mikir, itu malah bikin dia merasa bersalah.
Anak-anak zaman sekarang sering menganggap AI seperti teman sejati ketimbang alat. Pernah dengar cerita ada anak mencoba DeepSeek sampai menangis karena jawaban AI terlalu kasar? Teknologi memang bisa bantu belajar, tapi gimana kalau belajar bersosialisasi dari mesin?
Langkah Sederhana yang Sering Terabaikan

Terus, pernah nggak sih ditelpon pakai suara anak sendiri? Coba bayangkan kalau suatu hari kita menerima telpon dari “suara anak” minta dibelikan voucher—tapi ternyata itu palsu. Teknologi voice clone sekarang bisa meniru suara siapapun! Kasus di Belgia itu mengerikan, ya? Yang terpenting adalah jangan panik, tapi juga jangan lengah.
Pertama, selalu minta kode rahasia keluarga. Misal: “Tante lahir bulan apa?” Kedua, aktifkan mode terbatas di aplikasi seperti TikTok—fitur ini sering kali tersembunyi di pengaturan lanjutan. Ketiga, ajarkan deteksi video deepfake: lihat gerakan mata tidak wajar atau suara yang tiba-tiba terpotong. Praktikkan bersama sambil santai seperti main detektif.
Membangun Benteng dari Dialog Terbuka

Kalau jawabannya berbeda dengan nilai keluarga kita, mana yang akan kamu ikuti?
Suatu kali, anak kakak saya bertanya: “Kenapa AI lebih disayang? Aku nanya PR ke Mama malah dimarahi.” Ini bikin kami tersadar—teknologi dipercaya karena kesabarannya yang tak terbatas. Tapi justru di situlah peran kita sebagai orang tua bersinar.
Mulailah dengan pertanyaan sederhana: “Kira-kira kenapa ya AI bisa langsung jawab pertanyaan kamu?” atau “Kalau jawabannya berbeda dengan nilai keluarga kita, mana yang akan kamu ikuti?”
Perlahan, anak akan belajar memilah. Bukan tentang melarang teknologi, tapi menjadikannya alat untuk melatih nalar mereka sendiri. Percakapan kecil hari ini menjadi tameng besar esok hari.
Kejutan Manis di Balik Pengawasan

Salah satu momen paling berharga saya adalah saat menemani anak mengatur parental control bersama. Awalnya dia kesal: “Ga boleh ini itu terus!” Tapi setelah dijelaskan bahwa ini seperti sabuk pengaman di mobil, dia malah jadi penasaran.
Sekarang malah sering diskusi: “Mamah liat nggak berita AI palsu yang tipu orang itu? Kita bisa deteksi lho dari cara bicaranya yang kaku!” Kuncinya? Menjadi mitra penjelajah, bukan polisi digital. Anak yang paham alasan di balik aturan akan menjadi garda terdepan keamanan dirinya sendiri. Tahu nggak, yang paling kuat tamengnya tuh percakapan kita tiap hari. So, yuk, obroli anak—teman AI mereka bisa tunggu.
Sumber: FTC scrutinizes OpenAI, Meta, and others on AI companion safety for kids, ZDNet, 2025-09-12
