
Laporan terbaru PwC membuka perspektif baru: aplikasi AI masa depan yang tidak sekadar menggantikan tugas, tapi mengubah paradigma kerja manusia. Tapi bagaimana dampaknya pada dunia anak kita? Di antara kekuatan algoritma, keterampilan apa yang tetap harus ‘dilatih’ manusia—bukan diprogram?
Bagaimana Apps AI Membentuk Tim Kolaboratif di Kantor?

Laporan terbaru PwC mengungkap perusahaan kini membangun tim agen AI spesialis: ada yang fokus pada keuangan, kepatuhan, atau sumber daya manusia. Semua dipandu ‘agen pengatur’ seperti konduktor orkestra. Tujuannya bukan menggantikan manusia, tapi menciptakan alur kerja utuh.
Nah, ini mengingatkan saya pada permainan pasir di taman – seru, ya? Bayangkan anak-anak membangun benteng pasir bersama: satu menggali, satu membentuk, satu menghias. Mereka saling melengkapi, bukan bersaing. Dunia kerja masa depan anak kita akan seperti itu—kolaborasi antara teknologi dan kemanusiaan.
Laporan menyebut produktivitas naik 50-60% di bidang seperti pengembangan perangkat lunak, hingga tugas dua minggu selesai dalam sehari. Tapi pesan terdalamnya: peningkatan itu bukan tentang bekerja lebih cepat, melainkan memberi ruang untuk hal bernilai tinggi. Bagi kita sebagai orang tua, ini pertanda: waktu luang dari apps AI harus dialihkan pada sesuatu yang tak tergantikan—seperti cerita sebelum tidur sambil mencium aroma bunga tanjung di malam hari, atau berburu capung di sore yang lembap.
Apa Keterampilan Tahan Uji di Era Apps Intelegen?

Laporan PwC mencatat kesalahan produksi turun setengahnya berkat AI. Tapi untuk anak, kesalahan justru guru terbaik! Saat mereka mencoba menyusun balok kayu dan gagal, di situlah kreativitas lahir. Teknologi tak bisa menggantikan sensasi adonan berantakan saat memasak bersama, atau tawa saat bermain petak umpet di balik tirai hujan. Inilah yang perlu kita pertahankan: ruang untuk bereksperimen tanpa takut salah.
Sebagai orang tua, tantangannya justru membatasi ketergantungan pada panduan instan. Bayangkan anak yang selalu diarahkan aplikasi untuk menyusun puzzle—kita malah merampas kegembiraan saat mereka akhirnya menemukan keping terakhir sendiri. PwC bilang AI mengotomatisasi alur kerja kompleks, tapi bagi si kecil, ‘alur kerja’ terpenting adalah belajar mengikuti irama hujan sambil membuat layang-layang dari kertas bekas. Di sini, kita melatih ketangguhan: bahwa masalah tak selalu ada tombol ‘selesai’ instan, dan jawaban terbaik sering lahir dari usaha yang sabar. Pernahkah Anda merasakan tawa mereka saat bermain hujan? Itulah yang takkan tergantikan.
3 Tip Pertahankan Nilai Humanisasi dengan Apps AI

Jangan khawatir harus menguasai teknologi canggih. Laporan PwC menunjukkan kuncinya pada ‘alur kerja yang dirancang ulang’, bukan sekadar menambahkan alat. Terapkan prinsip serupa di rumah: ganti ritual ‘screen time tanpa arah’ dengan kolaborasi kreatif. Misalnya, minta anak menggambarkan imajinasinya tentang robot penolong, lalu kalian berdua buat modelnya dari kardus bekas. Prosesnya—bukan hasilnya—yang melatih keterampilan abad 21: berpikir kritis, berkomunikasi, beradaptasi.
Selipkan pertanyaan reflektif dalam obrolan santai: ‘Menurutmu, apa pekerjaan yang tetap harus manusia lakukan meski ada aplikasi AI?’ Atau saat mereka bermain dengan teman, ajak perhatikan: ‘Bagaimana kalian bekerja sama seperti tim agen AI di laporan PwC tadi?’ Ini tak sekadar bercerita—kita sedang menanam benih kesadaran bahwa teknologi adalah pelayan, bukan tuan. Seperti kata laporan, apps terbaik adalah yang membebaskan manusia untuk fokus pada hal bernilai tinggi. Bagi anak, ‘nilai tinggi’ itu tawa di lapangan, tangan berlumpur dari berkebun, atau rasa bangga usai pasang sekrup sendiri.
Balance Apps & Offline: Panduan Prioritaskan Rasa Keterhubungan

Laporan ini mengingatkan: revolusi AI bukan ancaman, tapi undangan untuk memprioritaskan kembali yang esensial. Perusahaan yang sukses bukan yang paling cepat adopsi teknologi, tapi yang paling jeli mengintegrasikannya dengan kebijaksanaan manusiawi. Kita juga bisa begitu. Saat apps AI mengambil alih tugas administratif di kantor, manfaatkan waktu tambahan itu untuk jalan-jalan sore di taman kota—biarkan anak mengumpulkan daun beragam bentuk, lalu diskusikan mengapa alam menciptakan keindahan tak terprogram begitu banyak varian.
Bukan melarang teknologi, tapi menciptakan keseimbangan yang bernapas. Alih-alih cemas anak kecanduan apps, ajak mereka menghidupkan ‘offline mode’ alami: membuat perahu kertas di selokan, atau bermain tebak suara burung pagi. Ini yang disebut laporan sebagai ‘keunggulan manusia’—kemampuan mencipta, berempati, dan menemukan makna antara helai daun. Percayalah, saat mereka dewasa nanti, keterampilan inilah yang membuat mereka unik—sekaligus tetap menjadi manusia yang bisa merasakan hujan di pipi tanpa harus update status.
Source: New Report Finds AI Agents Are Already Rewriting Work Itself, Forbes, 2025/08/29 17:11:15
