
Bayangkan saja, sayang, setelah hiruk pikuk seharian, rumah akhirnya tenang. Lampu temaram, dan kita berdua mungkin sedang menyeruput teh hangat di sofa, berbagi cerita tentang hari ini.
Lalu tiba-tiba, teringat lagi momen makan malam tadi: tahu nggak, si kecil tiba-tiba punya pertanyaan baru tentang burung kecil yang beterbangan di laman rumah. ‘Kenapa burung bisa terbang, Pa? Kenapa kita tidak bisa?‘ Dan ketika aku coba menjawab dengan sederhana, ia menggeleng dan menatapmu dengan ruang penuh harap.
Di situlah kesadaran saya datang: rasa ingin tahu itu bukan hanya milik mereka. Ternyata, setiap pertanyaan ‘kenapa’ dari anak-anak kita adalah cerminan keinginan mereka untuk memahami dunia, sekaligus undangan bagi kita untuk terus belajar dan melatih kesabaran sebagai orang tua.
Di tengah kesibukan kerja, kadang kita lupa bahwa di balik pertanyaan kecil itu, ada pelajaran tentang kesabaran, kebijaksanaan, dan kejutan-kejutan kecil yang memperkaya hidup kita.
Seperti kemarin, ketika ibu mertua memberi nasihat tentang tidak perlu membuat aturan terlalu ketat, justru memberi ruang untuk mereka menemukan jawaban sendiri, justru membuat kita merasa lebih tenang. Pelajaran berharga dari mereka, yang selalu membimbing kita, terasa begitu menenangkan.
Dan saat ini, di malam yang sunyi ini, hanya kita berdua, saya ingin mengucapkan terima kasih—karena setiap hari, kamu telah memilih untuk tetap tenang, tetap menjawab pertanyaan anak dengan penuh kelembutan meski hari ini sangat melelahkan.
Itu adalah kekuatan yang tak terlihat, yang membuat keluarga kita bisa tetap bertumbuh.
Di setiap pertanyaan yang terlontar, di setiap jawaban yang kita cari bersama, kita sedang membentuk fondasi untuk masa depan mereka—dan juga untuk diri kita sendiri.
Karena keluarga bukan hanya tempat kita beristirahat, tapi laboratorium kehidupan yang terus menciptakan makna melalui keteguhan bersama.
Kekuatan Rasa Ingin Tahu

Kekuatan rasa ingin tahu itu ada di setiap sudut kehidupan keluarga kita. Tidak hanya di saat si kecil bertanya tentang alam atau matematika, tetapi juga ketika dia melihat ibu bekerja, atau ayah pulang dengan wajah lelah.
Cerita inspiratifnya: beberapa hari lalu, ketika kita sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, si kecil tiba-tiba menanyakan ‘Mama, kenapa ibu masak nasi padang tidak pakai kompor listrik?‘ Jawabanku adalah ‘Apa bedanya bukan? Yang penting rasanya enak.’ Tapi kamu menjawab, ‘Kompor gas lebih cepat panas, tapi listrik lebih aman untuk lingkungan kita.‘ Dan dari situ, kita jadi belajar bersama tentang energi terbarukan—hal yang biasanya hanya kita diskusikan di TV, tapi hari ini menjadi konsekuensi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, kita sering merayakan tradisi makan yang diwariskan oleh nenek, tapi ketika mereka bertanya, hari ini kita juga berani menggabungkan tradisi dan ilmu baru. Dan itu justru menguatkan hubungan keluarga kita.
Kadang, saya merasa lega karena saya tidak malu untuk mempelajari hal baru. Suatu hari, saat pulang dari rutinitas harian dan melihat putri bermain layang-layang, tiba-tiba saya bertanya tentang prinsip aerodinamika. Sahabat-sahabat di kantor mungkin berpikir ‘Bapaknya bingung’, tapi di rumah, itu adalah momen berharga ketika saya mau belajar bersama anak-anak.
Semua ini adalah kisah kecil yang membuktikan bahwa rasa ingin tahu tidak hanya milik anak, tapi milik kita semua—sebuah kekuatan yang menjadikan keluarga sebagai mesin pembelajar yang terus bergerak.
Semenjak itu, setiap kali dia tertarik dengan sesuatu yang baru, kami selalu berusaha mempelajarinya bersama. Tidak ada pertanyaan yang dianggap ‘terlalu sederhana’ atau ‘terlalu sulit’. Malah, kami selalu menemukan cara untuk membantunya mengerti dengan contoh nyata, seperti saat kita memasak bersama, atau berkebun di halaman rumah.
Di lingkungan yang serba berubah, rasanya senang bahwa kita bisa menjawab keingintahuan mereka dengan penuh kasih, dan sekaligus memberi teladan tentang pentingnya belajar sepanjang hayat.
Ide Praktis Adaptasi

Dan kemarin, sambil membaca berita tentang bagaimana banyak keluarga beradaptasi dengan situasi yang berubah, saya kembali teringat pada malam ini. Kita semua melewati masa pandemi dan sekarang beradaptasi ‘new normal’, tapi sebagai orang tua, kami telah belajar mengubah tantangan harian menjadi peluang.
Seperti ketika puteri kecil mulai sekolah jarak jauh, kita bersama-sama merancang jadwal belajarnya, sementara saya mengatur jadwal harian agar bisa mendampingi waktu luangnya. Bahkan ketika jadwal berubah tidak sesuai keinginan, kita hanya saling berbisik, ‘Ayo, besok kita latih lagi,’ tanpa perlu rapat resmi atau jadwal ketat.
Ini adalah adaptasi sejati—kita tidak hanya mengambil dari atasan atau sistem pendidikan, tapi menciptakan cara kita sendiri, dengan dunia kecil keluarga sebagai sandaran.
Dan yang paling berharga, di saat-saat sulit seperti ini, kita justru semakin menghargai kebersamaan. ‘Banyak hal yang berubah, sayang, tapi yang tak berubah adalah kita saling hadir,‘ katamu tadi. Kenapa ini mengingatkan saya pada filosofi hidup orang Jawa: ‘Harus tetap sabar, asal tahu caranya’.
Di sini, kita mencari caramu sendiri untuk menjawab setiap tantangan, dan bersama-sama di saat ini, kita adalah tim yang tangguh.
Demikian juga saat menghadapi tantangan lain, seperti ketika ada tetangga di sebelah yang sedang kesulitan. Kita memutuskan membantu memberikan sisa makan siang. Dari situ, kita menyadari bahwa kekuatan adaptasi tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk membantu sesama.
Di Indonesia, kita sering dengar ‘saling mengasihi, saling menjaga’, dan hal-hal kecil seperti ini adalah bentuk nyata dari kekuatan karakter keluarga kita.
Setiap tantangan yang datang, entah itu beban pekerjaan, atau kebutuhan anak yang berubah-ubah, justru mengingatkan kita pada satu hal: bahwa sebagai sebuah keluarga, apa pun yang kita hadapi, kita bisa terus beradaptasi, berdiri bersama, dan tumbuh bersama.
Kemarin, ketika ada kabar bahwa sekolah akan menggelar kegiatan luring, kita langsung bergegas berdiskusi ulang. Setiap tantangan justru membuat kita berpikir lebih kreatif.
Saat listrik mati tiba-tiba, kita justru datang pada cara belajar tanpa alat digital—membaca buku bersama, atau bercerita mengenai perjalanan keluarga kita.
Pemikiran adil untuk ini adalah, sesulit apapun, tetaplah utama: kita berusaha mengerti satu sama lain.
Di Indonesia ini, komunitas kecil kita saling mendukung, entah itu dari keluarga, tetangga, baik online maupun offline. Dan itu membuat kita yakin bahwa tidak ada tantangan yang tidak bisa kita atasi bersama.
Setiap jam lembur yang harus saya lakukan, kamu selalu mendukung tanpa protes. Bahkan saat akhir pekan, kamu malah membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dengan sabar. Itu semua adalah bentuk adaptasi yang tidak terlihat di slideware perusahaan, tapi nyata dalam kehidupan sehari-hari kita.
Source: Harborstone Society Showcases Erydon AILegacyX Advancement Under Merrick Hollander, Globe Newswire, 2025/09/16 16:00:00Latest Posts
