
“Papah, robot bisa jadi teman main nggak sih?” Saat pertanyaan tiba-tiba bikin hati saya miring, saya tahu ini momen emas. Di tengah keriuhan sore, suara kecil itu melesat. Daripada jawab instan, saya tunduk, pandangi mata berbinar milik gadis cilik yang kini tumbuh di tengah desiran AI. Apa yang sebenarnya ia tanya? Bukan soal robot—ia menanyakan tempat teknologi di dunianya.
Pernah nggak sih, di tengah keriuhan sore hari, anak tiba-tiba bertanya hal yang bikin kita terdiam? Seperti ketika melihat robot pembersih lantai lalu bertanya, “Kalau robot ini capek, dia nangis nggak ya?” Di era dimana teknologi jadi bagian keseharian, pertanyaan polos itu sebenarnya pintu menuju diskusi mendalam. Sebagai orang tua, tanggapan kita bisa jadi benih yang menumbuhkan pemahaman sehat tentang teknologi.
Robot Bukan Teman Curhat: Cara Mengenalkan AI dengan Santai
Waktu anak bertanya kenapa asisten virtual bisa menjawab pertanyaan, coba balik dengan “Menurut kamu gimana caranya dia tahu?” Diskusi sederhana ini lebih berharga daripada penjelasan teknis. Dari pengamatan, anak-anak justru lebih paham ketika kita ajak mereka melihat teknologi sebagai alat—seperti kuas lukis atau sekop mainan—bukan entitas hidup.
Contohnya ketika main game edukasi AI, kita bisa bilang “Kita yang mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya”. Dengan bahasa sehari-hari semacam ini, konsep abstrak jadi lebih nyata. Seru kan lihat ekspresi mereka ketika sadar bahwa di balik aplikasi canggih tetap ada kreativitas manusia?
Waktu Layar vs Waktu Realita: Menemukan Harmoni
Ada trik sederhana yang berhasil di keluarga kita: untuk setiap 30 menit pakai tablet, harus ada aktivitas fisik kreatif. Misalnya setelah belajar coding dasar, ajak anak bikin ‘robot’ dari kardus bekas. Kegiatan hybrid seperti ini mengajarkan keseimbangan tanpa terasa menggurui.
Pernah nggak mencoba teknis ‘alarm kebersamaan’? Pasang timer di gadget, saat bunyi kita semua taruh perangkat lalu lakukan aktivitas offline bareng. Mulai dari menyiram tanaman sampai bikin benteng dari bantal. Lama-lama anak justru nanti-nantikan momen ini daripada screen time-nya sendiri!
Ketika Anak Lebih Jago Teknologi Daripada Kita
Gimana rasanya saat anak menjelaskan fitur aplikasi yang bahkan kita nggak mengerti? Alih-alih gengsi, coba nikmati momen itu dengan berkata “Wah, kamu jago banget! Ajarin dong…” Kepercayaan diri yang tumbuh dari pengakuan kita ini jauh lebih berharga daripada penguasaan teknis sempurna.
Ada cerita lucu waktu anak nanya “Bunda & Papah kalah sama Google ya?” Daripada tersinggung, lebih baik kita tertawa bersama sambil bilang “Iya dong, makanya kita harus selalu belajar bareng”. Kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa proses belajar itu menyenangkan, apalagi kalau dilakukan bersama-sama.
Kunci parenting di era AI bukan jadi ahli teknologi, tapi jadi pendamping yang berani bertumbuh bersama anak.
Kalau hari ini masih sering salah langkah, santai aja—kita sama-sama belajar kok.
Bayangkan lima tahun lagi, anak kita sudah bisa mengajari adek atau temannya memakai teknologi dengan bijak—semua berawal dari percakapan sore ini.
Membentuk Kebiasaan Digital yang Sehat Sejak Dini
Coba praktikkan ‘tech hygiene’ sederhana: semua gadget mengisi daya di luar kamar tidur. Selain baik untuk pola istirahat, ini membangun disiplin bahwa teknologi punya waktu dan tempatnya. Anak-anak langsung tahu batasnya tanpa merasa dikekang.
Bagaimana dengan konten kreatif? Ajak anak membuat video pendek tentang kegiatannya hari ini menggunakan aplikasi sederhana. Aktivitas ini mengajarkan bahwa gadget bisa jadi alat produksi, bukan hanya konsumsi. Hasilnya? Mereka belajar berpikir kritis tentang konten yang biasa ditonton.
Source: This Week’s Awesome Tech Stories From Around the Web (Through September 13), Singularity Hub, 2025-09-13