Kenapa ya hal-hal kecil yang dulu disayang kini malah terasa membebani?
Pagi itu tangan saya berhenti sebentar saat membersihkan nasi yang menempel di pipi si kecil. Kapan mulai tidak merasa gemas melihat ini? Tanya kecil di hati. Dulu setiap detail tumbuh kembang membuat saya berdebar-debar, sekarang malah seperti autopilot. Kok bisa ya kepekaan itu perlahan berkurang? Bunda pernah ngerasa begitu?
Butiran Nasi yang Berubah Makna
Dulu setiap butir nasi yang tersisa di kursi makan jadi bahan dokumentasi. Foto, catatan, bahkan ukuran sendok pun dihitung. Sekarang? Hanya jadi pekerjaan rumah yang harus disapu sebelum tamu datang.
Yang dulu, anak tinggal tolak sedikit makanan, langsung panik, lalu cerita ke suami sampe tengah malam, kini cuma sekilas lalu. Padahal di balik itu ada momen perkembangan yang mungkin terlewat…
Ukuran Baju yang Diam-Diam Menipu
Saat menemukan baju bayi ukuran 60 di lemari, tawa saya tercekat. Dulu dipakai ke mana ya? Tapi bersamaan dengan itu saya tersadar: kapan persisnya ukuran 80 berganti 90 tanpa saya sadari?
Seperti pagi itu di mobil melihat kening anak menyentuh headrest kursi bayi. Tiba-tiba sesak. Perubahan yang pelan tapi pasti ini sering luput karena kita terlalu fokus pada ‘target besar’ seperti tinggi badan atau berat ideal.
Matematika yang Bikin Burnout
PR matematika bisa jadi pemicu ledakan emosi yang bikin kita merasa jadi ibu gagal. Tapi coba diingat lagi: masalahnya sering bukan pada anak atau pelajarannya, tapi pada timer ‘deadline’ di kepala kita yang kepalang jalan.
Mengatasi tanda-tanda ibu burnout dimulai dari ritual kecil: hitung mundur 10 detik sebelum bereaksi, pegang tangan anak yang sedang menulis, bernapas dalam sebelum menerangkan konsep penjumlahan. Sederhana tapi mengubah semuanya.(Ya, kadang saya masih ngomel dulu, tapi setidaknya sekedar setengah jadi, hehe)
Rebellion Mungil Penyelamat Jiwa
Sekarang saya punya ritual baru: setelah selesai mandi sore, 3 menit merasakan tekstur rambut anak yang masih basah. Ingat bagaimana dulu rambutnya sehalus sutra bayi? Kini sudah mulai kaku dan tebal. Perubahan halus yang sering tak sempat kita nikmati.
Di lemari es saya tempel gambar-gambar acak hasil coretan anak selama seminggu. Bentuk gajah yang aneh, matahari berwarna ungu – mahakarya yang dulu buru-buru dibuang. Kini jadi pengingat: masa kecil mereka berlalu lebih cepat dari waktu laundry kita.
Jadi besok, saat butiran nasi itu kembali menempel, coba tepuk pelan, tarik napas, lalu ingat: ini bukan tanda kegagalan, tapi undangan untuk hadir—benar-benar hadir—dalam detik yang tak akan pernah terulang.