
Malam ini aku perhatikan anak kita begitu asyik dengan gawainya. Bukan sedang bermain gim, tapi seperti sedang mengobrol… dengan AI. Jujur, ada sedikit rasa cemas di hati. Dunia mereka sekarang begitu berbeda, ya? Tapi kami melihatmu, mendekatinya bukan dengan larangan, tapi dengan senyum penuh rasa ingin tahu. Dan saat itu aku sadar, jawaban atas semua kekhawatiran ini ada di depan mataku. Ada padamu. Caramu membuka jalan untuk bicara, bahkan di zaman yang serba digital ini.
Bukan Melarang, tapi Mendampingi dengan Rasa Ingin Tahu

Refleks pertamaku sebagai ayah adalah cemas. Kita semua pasti begitu, kan? Kekhawatiran orang tua tentang konten-konten yang tidak pantas di internet atau saat anak berinteraksi dengan orang asing di ruang maya itu nyata. Rasanya ingin langsung mengambil gawainya dan berkata, ‘Sudah, cukup.’ Tapi aku melihat istriku melakukan sesuatu yang berbeda. Kamu duduk di sebelahnya, melirik layarnya, dan dengan lembut bertanya, ‘Wah, seru ya? Lagi ngobrolin apa sama robot pintarnya?’ Pertanyaan sederhana itu mengubah segalanya. Kamu tidak membangun tembok larangan, tapi justru membuka pintu percakapan. Aku jadi teringat, anak-anak yang terlalu sering dilarang biasanya lebih rentan terhadap kecemasan dan kekhawatiran. Caramu itu menunjukkan bahwa kita ada di pihaknya, siap mendampingi, bukan menghakimi. Inilah langkah pertama yang paling penting dalam cara orang tua membuka komunikasi dengan anak di era AI: menjadi teman seperjalanannya.
Menciptakan Ruang Aman yang Lebih Nyaman dari AI

Aku pernah membaca sebuah artikel, katanya banyak remaja memilih curhat ke AI daripada ke teman atau orang tua. Alasannya sederhana: AI tidak menghakimi. AI tidak akan bilang, ‘Kok kamu begitu?’ atau ‘Seharusnya kamu tidak begitu.’ Dan entah bagaimana, kamu berhasil menciptakan ruang aman yang sama di rumah kita. Aku ingat saat anak kita dengan ragu bercerita kalau dia bertanya soal yang ‘aneh-aneh’ ke AI karena malu bertanya pada kita. Aku sudah siap memberi nasihat panjang, tapi kamu hanya tersenyum dan berkata, ‘Oh ya? Terus AI-nya jawab apa? Mama jadi penasaran deh.’ Kamu berhasil membuka ruang dialog terbuka agar anak merasa aman bercerita apa saja. Dia tahu, di sini ceritanya akan didengar dengan penuh perhatian, bukan dihakimi. Kepercayaan seperti inilah yang membuat kita tetap menjadi ‘rumah’ baginya, bahkan saat dunia digital terasa lebih ramah dan tanpa prasangka.
Jembatan antara Dunia Maya dan Kebijaksanaan Hati

Tentu saja kita tidak bisa naif. AI bisa membuat anak malas berpikir, tapi di sisi lain juga bisa menjadi alat belajar yang luar biasa.
Di sinilah peranmu kembali bersinar. Kamu tidak hanya memantau interaksi anak dengan AI untuk memastikan ia aman, tapi kamu juga membimbingnya menjadi pengguna yang cerdas. ‘Coba tanyakan ini ke AI, lalu kita cari jawabannya di buku juga yuk, bandingkan!’ katamu suatu hari.
Kamu mengajarinya untuk tidak menelan informasi mentah-mentah, untuk tetap punya nalar kritis. Cara orang tua memahami anak di dunia AI ternyata bukan dengan jadi ahli teknologi, tapi dengan memahami perasaan anak.
Kamu adalah jembatan antara lautan informasi di dunia maya dan kebijaksanaan di dalam hatinya. Dan itu… adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh algoritma mana pun.
Melihat caramu, aku jadi lebih tenang. Teknologi boleh terus berubah, tapi kehangatan dan dialog yang kamu bangun… pegangan terkuat untuk anak kita.
Sumber: 3 Human Skills That Make You Irreplaceable in an AI World, Getting Smart, 16 September 2025Latest Posts
