
Dua hari lalu, saat sarapan, “Ayah, aku mau bikin pesawat yang terbang sendiri!” teriak si Kecil, tujuh tahun, mulut masih penuh nasi goreng istimewa ala Ibu—campur telur, wortel, dan irisan nori yang bikin warnanya lucu bak kartun.
Persis sebelumnya ia menonton klip pendek di tablet soal pesawat kertas bertenaga karet. Lima menit, selesai. Tanpa adegan mikro-menejemen jadwal, tanpa target nilai. Apa yang membuat ilmu baru menancap erat begitu cepat pada anak?
Begini rahasia yang Ayah pelajari selama tujuh tahun terakhir: semangat belajar bukan hasil didik, tapi hasil jatuh cinta. Saat ia mencintai prosesnya, pengetahuan melekat sendiri—layaknya tiket pesawat yang laku begitu kita sudah jatuh hati pada destinasi liburan.
Mengapa Dipaksa Malah Menjauhkan
Pernah coba teriak, “Duduk! Baca sampai halaman 20!” satu jam berikutnya? Bila ya, pasti tahu rasanya seperti mengejar kucing liar: ia kabur, erat, lalu sembunyi di bawah ranjang. Paksaan mencipta kekuatan luar, bukan daya dalam.
Dalam diri anak tumbuh dua opsi: menurut tapi kosong, atau protes sambil melupakan. Jaringan otak memang merekam, tapi letaknya di folder “bau surai” bukan folder “serasa petualangan”. Hasilnya, setiap kali topik sama muncul, otak penolakan otomatis menyala. Masalah selesai? Belum, ini baru awal burnout di usia muda.
Menjaring Percikan—Cukup Satu Kali
Begini trik ringan yang sering kami pakai di trotoar sekolah—jaraknya seratus meter, cukup jalan kaki sambil ngobrol:
Saat langit mendung, Ayah inspirasi: “Lihat tumpukan awan itu, mirip kapas. Komandan awan pasti punya rencana besar nih!” Langsung deh dia nanya-nanya, “Kenapa awan bisa gerak, Papa?” Ayah tak sekaligus jawab, tapi pura-pura heran, “Aduh, kita Googling bareng yuk, siapa cepat ketemu!”
Dia lari tergesa setelah pulang, membuka tablet—cuma lima menit, habis itu tutup. Cukup. Besoknya ia cerita di kelas; temen-temen pada heboh. Percikan kecil ini bisa tetap nyala lama, lho—asal kita tangkap saat masih hangat.
Selidiki tanda tanya kecil; di situlah pintu gerbang pengetahuan berdiri megah.
Kurangi Sablon, Tambahkan Waktu Luang
Seminggu lalu kami coba “meja hampa”. Cuma kertas putih dan krayon bekas. Tak ada cetakan origami, tak ada panduan mewarnai. Hasil? Sebuah cerita bergambar alien berkebun bunga di Mars—tema yang tak pernah kami bahas sebelumnya.
Ketika ruang lowong, imajinasi mudah masuk—layaknya traveler yang diberi jadwal longgar; ia justru menemukan gang kecil penuh kafe lucu. Keajaiban datang saat kita berani diam sejenak, menunggu tangan kecil menyusun dunianya sendiri.
Tiga Langkah Praktis Hari Ini
1. “Sepuluh Menit Kejutan”: Pilih satu objek di rumah—sendok, kipas, remote TV. Tugas anak: cari tahu “darimana asalnya?” atau “bagaimana ia bekerja?” Batas waktu singkat bikin adrenalin terpacu; ketika waktu habis hentikan, biarkan rasa penasaran membara.
2. Ganti Kalimat Tutup dengan Tanda Tanya: Daripada “Itu disebut pelangi,” ucap “Kok bisa tujuh warna, ya?” Mempertanyakan membuat otak terus terpacu. Bapak-ibu yang oke tak lupa bikin bingung—supaya anak semangat mencari!
3. Libatkan “Rekan Sebayawan”: Ajak satu kawan seusianya. Anak lebih nekat coba ide baru kalau ada partner. Modalnya cuma kertas karton dan spidol; hasilnya—klub kecil yang membanggakan.
Dan Kalau AI Diperkenalkan?
Gunakan AI in education sebagai asisten, bukan ahli. Pernah kami minta bantuan aplikasi cerita interaktif: si Kecil mengetik “kucing antariksa” lalu AI menghadirkan plot tiga babak. Ia langsung tergelitik, melukis tokoh sendiri, sampai lupa waktu mandi. Teknologi tinggal setor ide, anak mengolah jadi karya. Syaratnya tetap: bataskan durasi, tetap tatap muka sesama manusia, lalu tutup dengan pelukan hangat.
Riset terbaru—seperti SpikingBrain-1.0 yang hemat daya 100 kali lipat—menunjukkan otak sintesis bakal makin ringan. Kita, orang tua, justru fokus pada yang tak bisa dipangkas mesin: rasa kagum. Semakin besar kekagumannya, semakin dalam ilmunya menetap.
Sumber: ‘Brain-like’ AI uses Chinese chips to run 100 times faster, The Star, 2025-09-11