
Pernah memperhatikan bagaimana anak kita belajar berjalan? Mereka jatuh, bangun, coba lagi—proses yang tampak lambat tapi justru membangun fondasi kuat. Di dunia software development, ada filosofi serupa bernama Extreme Programming yang mungkin bisa mengajarkan kita banyak hal tentang mendidik generasi AI di era digital ini.
Nah, ini tuh mirip prinsip yang sering saya terapin di rumah. Kayak pas ngajarin anak main puzzle—lambat tapi hasilnya mantap!
Apa Itu Extreme Programming dan Mengapa Relevan untuk Pola Asuh Digital?

Extreme Programming (XP) dikembangkan akhir 1990-an dengan prinsip menarik: “go slower in the small so you can go faster secara keseluruhan”. Artinya, dengan sengaja memperlambat proses kecil agar bisa bergerak lebih cepat dalam jangka panjang. Salah satu praktik radikalnya adalah pair programming—dua developer bekerja bersama, yang secara desain mengurangi output mentah menjadi separuhnya.
Sekarang AI bisa bikin kode super cepet, kan? Tapi justru di situlah kita harus waspada—mirip kayak anak belajar nulis: kalo buru-buru tanpa paham, hasilnya cantik tapi ngaco!
Pernah gitu, buru-buru nawarin anak jalan biar cepet mahir? Padahal justru jatuh-bangun itu yang bikin mereka kuat.
Bagaimana AI Sebagai ‘Jin’ dalam Pendidikan Anak?
Kent Beck, pencipta Extreme Programming, menggambarkan AI tuh kadang kayak jin—ngabulin permintaan tapi malah jadi bahan bingung! Persis seperti ketika anak kita bertanya pada AI assistant dan mendapat jawaban yang technically benar tapi kontekstually salah!
Kemarin, anakku nanya ke AI soal dinosaurus—eh malah dikasih resep bolu! Bikin kita ketawa sambil diskusi: “Jawaban AI kaga selalu valid, ya?”
Di sinilah prinsip XP menjadi relevan. Joshua Kerievsky, salah satu pembicara di konferensi XP2025, berargumen bahwa praktik inti XP—seperti pair programming dan test-driven development—memberikan struktur dan quality control yang essential untuk mengarahkan dan memvalidasi output AI.
Quality Over Quantity: Parallel dengan Pola Asuh Modern

Bayangkan ini: kita bisa menggunakan AI untuk menggenerate educational content untuk anak dengan kecepatan tinggi. Tapi tanpa proses review, diskusi, dan validasi bersama anak, konten tersebut bisa jadi seperti “program yang rapuh dan berantakan kayak benang kusut”—sulit diubah dan gampang rusak.
Prinsip pair programming mengingatkan kita pada pentingnya collaborative learning. Daripada membiarkan anak berinteraksi dengan AI sendirian, bagaimana jika kita duduk bersama, menjelajahi pertanyaan, dan mendiskusikan jawaban yang diberikan? Wuiih, serius deh! Proses yang keliatannya lama ini justru kunci bikin anak kita tangguh lho!
Pelajaran untuk Masa Depan Anak Kita di Era Digital

Dalam dunia yang semakin terautomasi, kemampuan untuk berpikir kritis, berkolaborasi, dan belajar dari kesalahan justru menjadi semakin berharga. Extreme Programming mengajarkan bahwa deliberate friction—gesekan yang disengaja—bukan halangan, tapi alat belajar yang powerful.
Mungkin kita perlu bertanya: dalam mendidik anak di era AI, apakah kita mengejar kecepatan atau kualitas? Apakah kita membangun fondasi yang kuat atau hanya menumpuk informasi permukaan?
Seperti kata pepatah, “sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Proses belajar yang pelan tapi mendalam seringkali membawa hasil yang lebih sustainable dibandingkan percepatan instan.
Ide Sederhana untuk Menerapkan Prinsip XP di Rumah

Mari coba praktik kecil yang terinspirasi dari filosofi XP:
Pair Exploration: Ajak anak menjelajahi topik baru bersama. Satu mencari informasi, satu bertanya dan menantang asumsi. Berganti peran seperti pair programming!
Test-Driven Curiosity: Sebelum mencari jawaban, tanyakan dulu: “Menurutmu bagaimana jawabannya?” Baru kemudian verifikasi bersama.
Embrace Mistakes: Perlakukan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar, bukan sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara.
Refleksi Akhir: Melambat untuk Melaju Lebih Cepat di Era AI
Di tengah dunia yang serba cepat, terkadang kita perlu ingat bahwa tidak semua yang berharga bisa diukur dengan kecepatan. Extreme Programming mengajarkan bahwa dengan sengaja memperlambat proses—dengan pair programming, test-driven development, dan praktik deliberate lainnya—kita justru mencapai hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.
Mungkin pelajaran terbesar untuk kita sebagai orangtua adalah: dalam mendidik anak di era AI, yang terpenting bukan seberapa cepat mereka mengonsumsi informasi, tapi seberapa dalam mereka memahami dan mampu menerapkannya.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu pernah mengalami momen dimana ‘melambat’ justru membawa hasil yang lebih baik?
Source: Should we revisit Extreme Programming in the age of AI?, Hyperact, 2025/09/05 21:38:50
Latest Posts
