
Pernah ngerasain nggak sih, ketika teknologi AI janji hemat waktu tapi malah bikin kita lebih lama ngerjain ulang? Aku ingat suatu malam, setelah anak-anak akhirnya terlelap. Kita duduk bersama, menatap layar yang penuh dengan solusi instan yang ternyata tidak bekerja seperti yang diharapkan. Dalam keheningan itu, aku tersadar: sama seperti parenting, yang terlihat cepat seringkali justru membutuhkan lebih banyak waktu untuk diperbaiki nantinya.
Mitos Efisiensi AI yang Sering Menjebak
Ada yang ngerasain nggak, sebagai orang tua kita sering terjebak dalam ilusi kecepatan? Kayak kasih tablet supaya anak diam sebentar, eh malah bikin kita harus menghabiskan waktu lebih lama untuk memperbaiki kebiasaan yang terbentuk.
Aku lihat perjuangan kita dengan teknologi itu, dan itu ingatkan aku pada pagi tadi ketika kita coba menyiapkan anak-anak dengan tergesa-gesa. Semua serba instan: sarapan cepat, baju langsung dipakai, sepatu diselipkan begitu saja. Tapi kemudian, di tengah hari, telepon dari sekolah karena si kecil lupa makan siangnya.
Teknologi AI janji kecepatan yang sama—input perintah, dapat solusi instan. Tapi seperti parenting yang terburu-buru, yang terlihat hemat waktu di depan justru menciptakan pekerjaan tambahan di belakang.
Seni Bertanya yang Tepat: Belajar dari Meja Makan
Ada sesuatu yang indah dalam cara kita mengajarkan anak-anak untuk bertanya. Bukan cuma ‘apa’ tapi ‘mengapa’. Bukan hanya ‘bagaimana’ tapi ‘apa yang terjadi jika’. Seperti saat kita berkumpul menikmati semangkuk soto ayam hangat di pagi Minggu, sambil ngobrol santai tentang hari yang akan datang.
Aku lihat pola yang sama dalam usaha kita memahami AI itu. Kita tidak hanya terima jawaban pertama yang diberikan. Kita tanya lagi, eksplorasi, cari pemahaman yang lebih dalam. Seperti ketika kita duduk bersama anak-anak di meja makan, bukan cuma menyuapi tapi benar-benar dengar cerita mereka.
Dalam dunia yang terobsesi dengan jawaban instan, kita diingatkan bahwa nilai sebenarnya bukan pada kecepatan dapat solusi, tapi pada kedalaman pertanyaan yang kita ajukan.
Kesabaran yang Terkikis oleh Janji Instan
Terakhir kali kita bicara tentang screen time, ada sesuatu yang bikin aku berpikir. “Kita ajari mereka untuk selalu cari jalan pintas,” katamu dengan suara lelah.
Aku lihat kekecewaan di mata kita malam ini, bukan karena teknologinya gagal, tapi karena janji instan itu ternyata kosong. Sama seperti janji parenting instan yang sering kita dengar: metode cepat agar anak tidur lelap, cara instan agar anak patuh.
Tapi kita berdua tahu, dalam gelapnya malam ketika kita bergantian temani anak yang tidak bisa tidur, dalam kesabaran kita tunggu mereka pahami nilai sebuah kesalahan—di situlah pembelajaran yang sesungguhnya terjadi.
Membangun Pemahaman Bersama, Bukan Cuma Menyelesaikan
Akhirnya kita tutup laptop dengan senyum kecil. “Aku ngerti sekarang,” katamu. Bukan karena solusi itu akhirnya berhasil, tapi karena kita pahami mengapa itu tidak bekerja.
Itulah yang paling aku kagumi—bukan cuma kemampuan kita selesaikan masalah, tapi ketekunan kita untuk benar-benar memahami. Seperti cara kita hadapi tantangan parenting: tidak cari solusi instan, tapi bangun pemahaman bersama.
Mungkin itulah pelajaran terbesar dari malam ini. Bahwa dalam dunia yang terobsesi dengan kecepatan, kesabaran untuk memahami proses justru jadi kemewahan yang paling berharga.
Kekuatan ‘Pelan tapi Pasti’ dalam Perjalanan Kita
Sekarang anak-anak sudah tidur, dan kita sudah ngerti kesalahan dalam proses itu. Aku lihat wajah kita yang lebih tenang, lebih puas daripada jika kita cuma copy-paste solusi instan.
Ini ingatkan aku pada perjalanan kita sebagai orang tua. Tidak ada yang instan. Setiap malam yang kita habiskan bergantian temani anak yang sakit, setiap pagi yang kita luangkan untuk benar-benar dengar cerita mereka—semua itu investasi yang tidak terlihat tapi sangat nyata hasilnya.
Mungkin begitulah seharusnya kita lihat teknologi: bukan sebagai pengganti proses, tapi sebagai mitra dalam memahami. Bukan untuk bikin segalanya lebih cepat, tapi untuk bikin pemahaman kita lebih dalam.
Dan seperti selalu, kita saling ingatkan bahwa yang terpenting bukan seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa dalam kita pahami perjalanannya.
Sumber: The AI coding trap, Chris Loy Dev, 2025/09/28