
Bayangkan mengajari si kecil bersepeda. Terlalu banyak proteksi? Ia malah nggak pernah berani kayuh. Terlalu longgar? Risiko jatuh mengintai. Itulah keseimbangan yang dimaksudkan Bapak Anwar Ibrahim tentang kecerdasan buatan: jangan terlalu hati-hati sampai ketinggalan, tapi jangan gegabah tanpa jangkar nilai. Seperti kita memandu langkah pertama mereka, AI pun butuh prinsip keadilan sebagai fondasi. Di balik kemajuan teknologi yang menggebu, justru di sinilah kita sebagai orang tua punya peran krusial—menjadi penjaga agar alat canggih ini menyinari semua anak, bukan hanya segelintir orang. Dan ya, ini bukan sekadar soal ekonomi atau data, melainkan tentang masa depan yang inklusif untuk generasi kecil kita.
Mengapa Keadilan AI Penting untuk Keluarga Indonesia?

“Hasil yang tepat” itu bukan cuma soal efisiensi atau kecepatan, melainkan keadilan yang menyentuh hidup setiap anak. Seperti yang disampaikan Bapak Anwar Ibrahim, adopsi AI harus mengakar pada nilai-nilai moral dan kesetaraan. Ini mengingatkan kita pada momen sederhana: ketika si kakak mendapat jatah permen lebih besar hanya karena lebih tinggi, adik pasti protes dengan wajah cemberut. AI yang tak diatur bisa berlaku serapa—misalnya, alat pembelajaran digital yang kurang memahami aksen daerah atau konten yang tak representatif untuk semua budaya. Riset menunjukkan Malaysia sedang membangun kebijakan berbasis prinsip keadilan AI untuk memastikan transformasi digital tak meninggalkan siapa pun. Seperti kita mengajari anak berbagi mainan, prinsip ini perlu kita biasakan sejak dini: teknologi hebat itu indah hanya jika semua bisa merasakan manfaatnya.
Bagaimana AI Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak Indonesia?

Saat anak kita bermain dengan aplikasi edukasi atau menonton konten kreatif, ada pertanyaan mendasar: “Apakah AI ini memperlakukan mereka secara adil?” Jangan sampai algoritma tak sadar memperkuat stereotip—misalnya, gambar profesi dokter selalu perempuan atau insinyur laki-laki. Ini bisa membentuk pandangan dunia mereka tanpa kita sadari! Kabar baiknya, Malaysia sedang bergerak maju. Dengan potensi ekonomi AI sebesar USD113,4 miliar, negara ini mulai membangun pusat data AI raksasa. Tapi seperti pesan Anwar, pendapatan besar harus diimbangi dengan pendekatan yang menghargai keberagaman. Bayangkan jika anak kita besok menjadi bagian dari generasi yang menciptakan teknologi ini: apa yang kita tanam hari ini tentang keadilan akan menentukan apakah mereka membangun dunia yang memberi kesempatan sama untuk semua suara. Di sini, peran kita bukan melarang gadget, tapi membuka diskusi: “Menurutmu, apakah gambar ini mewakili teman-temanmu di sekolah?”
3 Tips Praktis Orang Tua untuk Ajarkan Keadilan AI

Jangan khawatir, kita nggak perlu jadi ahli teknologi untuk mendampingi anak. Mulailah dari hal kecil yang menanam benih kesadaran:
– Saat menonton video bersama: Ajak mereka kritik konten dengan pertanyaan simpel, “Kalau kamu jadi pembuat konten ini, apa yang akan kamu ubah biar lebih adil?” Ini melatih empati dan analisis, mirip seperti kita memilah buah di pasar—nggak semua seragam manis, tapi kita pilih yang sesuai.
– Transformasi “gadget time”: Setelah 30 menit bermain tablet, ajak keluar ruang. Mainkan games alam seperti menghitung semut di taman atau membuat kolase daun. Tubuh yang bergerak melengkapi otak yang berpikir kritis—seperti pohon yang butuh akar kuat sebelum tumbuh tinggi.
– Cerita sebelum tidur versi kekinian: Ganti dongeng dengan diskusi ringan, “Bagaimana kalau AI bisa bantu nenek di desa jual kerajinan?” Biarkan ide liar mereka bermunculan. Hasilnya? Mereka belajar bahwa teknologi bukan sekadar layar, tapi alat untuk menyambungkan manusia.
Masa Depan Cerah AI untuk Keluarga Indonesia

Sekarang mungkin kita masih mendengar debat panas tentang AI—”Bahaya banget!” atau “Masa depan yang cemerlang!”—tapi pesan terdalam Bapak Anwar adalah tentang kemajuan yang bertanggung jawab. Malaysia dengan berani mengundang investasi pusat data AI, sekaligus menyusun kebijakan berbasis prinsip keadilan seperti dalam Kebijakan Revolusi Industri 4.0. Ini mengajarkan kita bahwa perubahan terbesar lahir dari langkah kecil yang disengaja. Seperti saat kita pelan-pelan melepas pegangan sepeda anak, kepercayaan diri mereka tumbuh karena kita selalu siap menangkap. Di rumah, kita bisa mulai dengan rutinitas sederhana: setiap Minggu, ajak keluarga makan malam tanpa gadget sambil bercerita tentang hal menarik yang dipelajari anak hari itu. Di sinilah keajaiban terjadi—merekam bahwa nilai-nilai seperti kejujuran dan kepedulian justru menjadi kompas terbaik di era serba digital. Dengan begitu, ketika mereka dewasa, mereka nggak cuma mahir teknologi, tapi punya hati yang tahu: kecanggihan tanpa keadilan itu hampa.
Source: Anchor AI in equity, says Anwar, The Star, 2025/08/30 23:00:00
Latest Posts
