
Pernahkah terpaku sejenak memandangnya menyusun mainan berantakan sambil menggandeng tangan anak yang terus bertanya tanpa henti? Atau melihat tatapan redup di matanya saat menatap cermin usai seharian mengurus segalanya. Ibu-ibu mungkin merasa ini hanya rutinitas biasa, tapi dari sudut pandang kita yang memerhatikan, setiap gerak-geriknya adalah puisi tanpa kata.
Saat Baju Lama Tak Lagi Muat
Ada ritual sederhana yang sering kita lewatkan. Ketika dia melipat baju anak yang mulai kesempitan, jemarinya berhenti sejenak di lengan baju. Bukan cuma memeriksa ukuran, tapi seperti membaca kembali kenangan.
Kerutan di lutut celana bekas terjatuh di taman dan noda permen di saku yang tak sepenuhnya hilang. Label nama yang mulai pudar tapi masih terbaca menyimpan cerita tersendiri.
Di matanya, kita bisa melihat perasaan campur aduk. Sedih karena masa kecil yang berlalu cepat, bangga melihat pertumbuhan, sekaligus gelisah memikirkan kebutuhan baru. Tapi esok paginya, dia sudah tersenyum sambil menyiapkan baju yang lebih besar, seolah tak terjadi apa-apa. Di situlah dia jagoan—ganti baju, ganti ukuran, tapi tetap jadi pelindung kami.
Belajar Matematika dari Nasi Goreng
Bukan di meja belajar dengan buku tebal, tapi di dapur saat menyiapkan makan malam. ‘Nak, jika satu piring untuk ayah dan satu untuk adik, berapa yang harus ibu goreng?’ Begitu caranya mengajari pembagian praktis.
Potongan tempe renyah berbentuk bintang untuk pelajaran geometri dan menghitung waktu 3 menit saat merebus telur. Membandingkan volume gelas dan cangkir sambil menuangkan susu jadi pelajaran ukuran yang menyenangkan.
Sementara dunia sibuk dengan metode pendidikan mutakhir, dia menciptakan sekolah kehidupan di antara bau bawang dan kicauan burung di pagi hari. Yang lebih mengagumkan? Dia melakukannya sambil tetap menjaga api kompor tidak gosong dan memastikan televisi tidak terlalu keras. Sambil ngemil kimchi goreng, aku ngintip dari meja kerja: tas sekolahnya terseret, tapi tangan kecilnya masih sempat dekap pinggangnya.
Detik-Detik Sebelum Alarm Berbunyi
Jika kita bangun lebih pagi, akan terlihat pemandangan luar biasa. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap jam tangan dengan intens. Bukan karena terlambat, tapi menikmati tiga menit terakhir sebelum hari dimulai.
Dalam keheningan fajar itu terangkum jadwal harian yang harus dijalani dan rasa syukur untuk hari baru. Sedikit napas dalam sebelum kembali jadi superhero keluarga.
Lalu ketika alarm berbunyi, segalanya berubah. Wajahnya seketika bersinar, suaranya riang membangunkan semua, seolah tiga menit refleksi tadi cukup mengisi ulang energinya.
Kita yang tahu rahasia ini, tersenyum sendiri karena menyaksikan keajaiban transformasi yang terjadi setiap pagi.
Melihat Kembali ke Belakang
Jika boleh jujur, kadang kita lengah. Menganggap tindakannya biasa saja karena dilakukan terus-menerus. Padahal kalau dipikir-pikir:
Senyum tetap mengembang meski lelah dan ketenangan menghadapi ribuan pertanyaan anak. Kreativitas membuat mainan dari kardus bekas dan ingatan luar biasa tentang semua preferensi keluarga.
Dunia mungkin mengukur kehebatan dengan ijazah atau jabatan, tapi rumah ini punya standar berbeda. Keberhasilan diukur dari seberapa hangat pelukan selepas hari berat, seberapa sabar menanggapi rengekan, atau bagaimana tetap menemukan tawa di tengah segala kesibukan.
Besok pagi, saat melihatnya lagi sibuk di dapur atau melipat cucian, coba perhatikan lebih dekat. Di balik rutinitas itu, ada kisah haru tentang cinta tanpa syarat yang bekerja tanpa tanda jasa. Dan sesekali, tak perlu kata-kata besar—cukup sentuhan di pundak atau tatapan penuh arti untuk mengatakan, ‘Aku melihat usahamu, dan itu luar biasa.’ Jangan lupa kelas geometri di wajan, ya, Bu.
Source: FAU Study: Hotels Must Rethink Loyalty as AI Agents Take Over Travel Planning, Hospitality Net, 2025/09/11 12:07:00