Membaca Kebijakan Publik, Teringat Caramu Mengelola Rumah Kita

Keluarga di rumah pada malam hari dengan kipas

Suara kota akhirnya mereda, ya? Hanya terdengar dengung pelan kipas dan napas anak-anak yang sudah terlelap. Di saat seperti ini, saat kita akhirnya bisa duduk berdua, aku merasa waktu bergerak lebih lambat. Tadi siang, sambil menunggu lalu lintas yang padat, aku membaca sebuah artikel. Isinya tentang bagaimana pemerintah berencana menggunakan kecerdasan buatan untuk membantu membuat kebijakan publik. Katanya, semua itu demi keputusan yang lebih cepat dan adil, berdasarkan data yang akurat.

Pikiran pertamaku, seperti mungkin banyak orang lain, adalah “Memangnya bisa?” Kita sering sekali mendengar ada kebijakan baru—entah itu soal zonasi sekolah atau aturan ganjil-genap—lalu kita saling pandang dan bertanya, “Ini dasarnya apa, ya?” Artikel itu seolah menjawab: data. Tapi saat membacanya, yang terbayang justru bukan deretan angka atau mesin canggih. Yang terbayang malah kamu.

Mesin Pintar Memberi Peta, Tapi Hatimu yang Menentukan Arah

Aplikasi peta merekomendasikan rute tercepat

Mereka bilang, algoritma bisa menganalisis jutaan data dalam hitungan detik. Seperti aplikasi peta yang selalu merekomendasikan rute tercepat saat kita terjebak macet. Logis, efisien, dan sangat membantu. Tapi kemudian aku teringat minggu lalu. Saat aku mengusulkan wisata baru yang sedang populer. Menurut aplikasi, perjalanannya hanya sejam. Data sempurna, kan? Tapi kamu tersenyum pelan. Kamu ingatkan bahwa anak-anak sedang lelah, jalanan akan ramai, dan mungkin yang kita butuhkan hanya sore yang tenang di taman dekat rumah.

Kamu tidak membaca angka. Kamu membaca kita. Lelah di mata, gelisah yang tak terucap, kebutuhan akan jeda. Mesin bisa memberi rute tercepat, tapi kamulah yang tahu tujuan terbaik bagi keluarga. Tempat di mana kita bisa bernapas lega bersama.

Data Dingin dan Kehangatan Intuisi

Dokter memeriksa pasien dengan kesadaran empati

Artikel itu mengatakan keputusan akhir harus tetap di tangan manusia. Mereka memberi contoh kebijakan kesehatan: AI bisa memprediksi wabah, tapi hanya dokter yang bisa melihat mata pasien dan merasakan ketidaknyamanannya. Aku langsung teringat ketika anak kita demam tinggi. Aku panik, mencari gejala di internet sampai menemukan diagnosa yang menakutkan.

Tapi kamu? Kamu mendekat, merasakan panasnya dengan punggung tangan, mendengarkan napasnya. ‘Ini hanya karena kecapekan,’ katamu dengan suara tenang. Dan benar. Besoknya demamnya turun. Teknologi memberiku data yang menakutkan, kamu memberiku ketenangan.

Keputusan terbaik memang selalu lahir dari perpaduan informasi akurat dan kepekaan hati.

Percakapan dari Hati ke Hati, Bukan Penjelasan Teknis

Keluarga berdiskusi dengan interaksi hati ke hati

Selain dalam keputusan medis, hal serupa terjadi saat membahas keuangan keluarga.

Yang paling kusukai dari artikel itu adalah bagian tentang transparansi. Katanya, masyarakat baru percaya jika memahami dasar keputusan. Bukan dengan jargon teknis, tapi penjelasan yang membumi. Mirip seperti caramu saat kita diskusi tentang keuangan keluarga atau pilihan sekolah. Kamu tidak pernah bilang ‘Pokoknya harus begini.’

Kamu selalu meluangkan waktu untuk berbagi alasan di balik keputusanmu. Kekhawatiran, harapan, pertimbangan. Kamu membuat semua orang merasa dilibatkan. Itulah yang sering dirindukan orang dari pemimpin mereka. Bukan penjelasan rumit tentang algoritma, tapi kalimat sederhana: ‘Aku mengerti perasaanmu.’

Membaca tentang ambisi teknologi ini, aku justru semakin bersyukur. Mereka mungkin menghabiskan triliunan untuk membuat mesin canggih. Tapi aku punya versi aslinya di rumah ini. Kamu yang setiap hari mengajarkan bahwa kebijakan terbaik tidak ditulis dengan kode program, tapi dengan telapak tangan hangat yang selalu tahu kapan harus menggenggam erat atau melepas pelan.

Sumber: Pemprov DKI Jakarta gunakan AI untuk atur lalu lintas, Kompas, 15 September 2025

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top