Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Hati: Sebuah Catatan untukmu

A serene home at night, with children asleep

Anak-anak sudah tidur, akhirnya rumah ini tenang juga ya, Sayang. Hanya ada suara dengkuran halus mereka dan detak jam di dinding. Di saat seperti ini, aku sering merasa waktu melambat, kita bisa bernapas lega sebentar setelah seharian berlari kencang.

Tadi sore, sambil menunggumu pulang, aku membaca sebuah artikel menarik. Tentang bagaimana para pengajar sekarang menggunakan Kecerdasan Buatan atau AI untuk membantu pekerjaan mereka. AI bisa membuatkan soal diskusi, merancang materi, macam-macam. Tapi di akhir artikel itu ada satu pertanyaan yang menancap di benakku: ‘Jadi, kita ini akan menjadi pengajar seperti apa?’

Pertanyaan itu tidak membuatku berpikir tentang guru di sekolah. Anehnya, itu justru membuatku berpikir tentangmu. Tentang caramu ‘mengajar’ di rumah ini. Aku melihat bagaimana teknologi mungkin bisa membantu banyak hal, tapi ada inti dari semua ini—sesuatu yang kamu miliki—yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh mesin secanggih apa pun. Inilah peran ibu dalam pendidikan era AI yang sesungguhnya.

Mitra Kreatif yang Sesungguhnya

A family cooking together in the kitchen

Artikel itu menyebut AI sebagai ‘mitra kreatif’. Katanya, AI bisa memberikan puluhan ide dalam hitungan detik, tapi manusia lah yang harus memilih, menyesuaikan, dan memberinya konteks. Lucu, ya? Aku langsung teringat pemandangan di dapur kita akhir pekan lalu.

Kamu sedang bingung mau masak apa. Lalu kamu buka aplikasi resep, yang dengan cepat memberimu daftar panjang pilihan. Itu ‘AI’-nya. Tapi kemudian, aku melihatmu terdiam sejenak. Kamu ingat si kakak lagi tidak suka sayur yang lembek, dan si adik sedang terobsesi dengan apa pun yang berwarna kuning. Kamu juga ingat aku bilang ingin makan yang sedikit pedas.

Aplikasi itu hanya memberikan data mentah: resep A, resep B. Tapi kamulah yang menjadi ‘manusia’-nya. Kamu memilah, menggabungkan, dan mengubah resep itu menjadi sesuatu yang bukan hanya sekadar makanan, tapi bentuk kasih sayang kita. Kamu menciptakan ‘menu damai’ untuk seluruh keluarga. Kecepatan AI memang mengagumkan, tapi kreativitas yang lahir dari kasih sayang ibu sebagai fondasi edukasi? Itu adalah keajaiban yang terjadi setiap hari di rumah ini. AI bisa memberikan ide, tapi kamulah yang memberinya jiwa.

Membaca Nuansa yang Tak Tertulis

A mother comforting her child

Ada satu hal lagi yang dibahas: AI seringkali melewatkan nuansa. Ia bisa memproses data dengan cepat, tapi kesulitan memahami emosi atau konteks yang tersembunyi. Dan lagi-lagi, aku melihatmu.

Ingat saat guru si kakak mengirim pesan di grup orang tua? Pesannya singkat dan lugas, mengatakan kalau tugasnya belum selesai. Kalau dibaca sekilas, mungkin kesannya anak kita malas atau lalai. Sebuah sistem mungkin akan menandainya sebagai ‘tugas terlambat’ dan mengirim pengingat otomatis.

Tapi kamu tidak berhenti di situ. Malamnya, kamu tidak langsung memarahinya. Kamu duduk di samping tempat tidurnya, mengelus rambutnya, dan bertanya dengan lembut, ‘Ada yang lagi bikin Adek susah di sekolah?’ Dan dari sanalah ceritanya mengalir. Tentang teman yang mengganggunya, tentang rasa tidak percaya diri. Masalahnya bukan pada tugas itu, tapi pada hati kecilnya yang sedang resah.

Aku kadang heran lho, bagaimana kamu bisa merasakan hal-hal seperti itu. Itulah sentuhan emosional ibu dalam belajar anak yang tidak akan pernah bisa dibaca oleh algoritma mana pun. Kemampuanmu untuk merasakan apa yang tidak terucap, untuk melihat di balik perilaku anak-anak kita, adalah kecerdasan yang paling tinggi. Kamu tidak hanya menyelesaikan masalah, kamu menyembuhkan luka kecil yang bahkan tidak kami sadari ada di sana. Kamu adalah penerjemah hati keluarga ini.

Penjaga Nilai di Dunia yang Serba Efisien

A family enjoying a cozy evening together

Pertanyaan di artikel itu—‘kita akan menjadi pengajar seperti apa?’—sebenarnya adalah pertanyaan tentang jiwa. Di tengah desakan untuk menjadi lebih cepat, lebih efisien, lebih produktif, apa yang sebenarnya paling penting?

Setiap hari, aku melihatmu membuat pilihan itu. Kamu bisa saja menggunakan aplikasi untuk mengatur jadwal bermain anak-anak kita menit per menit agar ‘efisien’. Tapi kamu lebih memilih membiarkan mereka bosan sesekali, karena kamu tahu dari sanalah imajinasi lahir. Kamu bisa saja mengandalkan tontonan edukatif di gawai untuk menenangkan mereka, tapi kamu lebih memilih repot membacakan buku dengan suara yang dibuat-buat, karena kamu tahu di sanalah kehangatan dan koneksi terbangun.

Kamu adalah penjaga nilai-nilai kita. Di dunia yang terobsesi dengan ‘apa’ yang kita hasilkan, kamu selalu mengingatkan kita tentang ‘mengapa’ kita melakukannya dan ‘bagaimana’ perasaan kita saat menjalaninya. Kamu menunjukkan kecerdasan hati ibu untuk arahan digital yang bijaksana.

Jadi, saat dunia bertanya-tanya tentang masa depan dengan AI, aku tidak terlalu khawatir. Karena di sini, di rumah kecil kita, aku melihat kecerdasan yang jauh lebih kuat sedang bekerja. Kecerdasan hati. Dan pusatnya adalah kamu. Terima kasih sudah menjadi ‘pengajar’ terbaik bagi kami semua, Sayang.

Kamu adalah penerjemah hati keluarga ini.

Source: How We Think, How We Teach: Five Ways to Think About AI in Faculty Work, Faculty Focus, 2025-09-15

Postingan Terkini

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top